Kamis, 20 Januari 2011

POTRET SEKSUALITAS DAN KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI: KAJIAN SEMIOTIKA


KATA PENGANTAR PENULIS



          Segala puji hanya tercurahkan kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan begitu banyak limpahan nikmat sehingga penulis dapat menyelsaikan kajian ini secara maksimal dan optimal. Selawat dan salam semoga senantiasa tersampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhamad SAW yang telah begitu banyak mengajarkan kebijakan dan menyebarkan ilmunya pada semua umatnya.
           Saman yang menggambarkan sebuah potret yang begitu terang tentang gambaran buram pada masa   dibuatnya novel ini. Pengkajian ini menghasilkan sebuah pemikiran bahwa  setiap pembaca akan mengetahui apa yang terkandung dari cerpen itu. Saman begitu menarik dikaji, kemunculannya adalah sebuah penggambaran kehidupan masyarakat Indonesia ketika itu yaitu pada masa runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru yang terjadi pada tahun 1990-an. 

Saman yang hadir dalam kontoversi terkait vulgaritasnya,  tentu  akan menjadi  sebuah pemaknaan yang sangat sayang jika hanya dapat dikaji lateral karena jelas pembahasaannya yang terkesan vulgar seakan tanpa makna. Secara maknawi dalam konvensi budaya jelas terlihat bahwa terdapat sisi yang begitu  menarik di balik semua itu. Saman telah mampu menunjukkan bahwa zaman sudah semakin berkembang dan perempuan Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup pesat.  Saman  telah menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari pemberian solusi-solusi yang digambarkan pada tokoh-tokoh perempuan yang diceritakan begitu lugas dalam novel ini.
            Tak ada gading yang tak retak dan tak ada manusia yang sempurna. Demikian pula dalam penulisan tugas ini  boleh jadi memiliki banyak kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakannya agar lebih optimal dan maksimal. Akhirnya, penulis berharap penelitian yang teramat singkat ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca, khusunya dalam pengajaran bidang studi Pendidikan Bahasa dan Sastra di dunia pendidikan dan umumnya pada pengembangan ilmu pengetahuan.  Lebih khusus kepada para pembaca blog ini, semoga dapat memanfaatkan tulisan ini dengan sebaik-baiknya, terutama dalam pengkajian karya-karya sastra selanjutnya.
  


I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sastra  adalah suatu objek kajian yang menarik dan tidak akan ada habisnya. Hal ini disebabkan sastra adalah sesuatu bagian yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.  Sastra sendiri dapat diartikan sebagai suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993:8). Sebagai seni kreatif yang menggunakanmanusia dan segala macam segi kehidupannya, maka sastra tidak saja adalah suatu media untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir manusia.
Mengkaji  sastra adalah sesuatu hal yang menarik dan tidak pernah terhenti selagi karya sastra itu masih diciptakan. Hal ini disebabkan sastra memiliki hubungan yang cukup erat dengan kehidupan khususnya pengarang dan pembacanya. Senada dengan yang disampaikan oleh Tarigan (1995:3), sastra merupakan suatu bentuk dan struktur bahasa sebagai pembayangan atau pelukisan kehidupan dan pikiran imajinatif. Sastra adalah  suatu bentuk keindahan dan kekayaan yang tidak ternilai harganya.
Keindahan karya sastra tidak terlepas dari masyarakat yang menikmatinya. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya (Zulfahnur dkk 1996: 254). Hal senada juga dikatakan oleh Abrams (dalam Pradopo 1995: 254) bahwa karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Tidak menutup kemungkinan kalau masyarakat menjadi objeknya.
Kaitan dua jenis masyarakat ini dapat disatukan dalam karya sastra. Ketiganya bak temali yang saling terkait.  Pada dasarnya masyarakat dan sastra adalah suatu hubungan yang simbolik dan bermakna serta antara sastra dan aktifitas manusia memiliki keterkaitan (Warren dan Wellek, 1989:131). Keterkaitan ini dapat dibahas melalui pengkajian karya sastra. Jadi, keterkaitan yang menghubungkan  antara  pengkajian karya sastra dan masyarakat adalah budaya.
Sastrowardoyo (1989:18) mengungkapkan bahwa karya sastra  merupakan penjaga keselamatan moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat karena di dalamnya terkandung hikmah kompleksitas kehidupan manusia, seperti nilai kehidupan, persoalan kehadiran dan kematian manusia, dan pengungkapan kegelisahan serta kecemasan. Melalui karya sastra inilah pembaca dapat memahami kebermaknaan karya sastra yang ingin disampaikan oleh pengarang untuk kemudian dapat dijadikan sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan.
Salah satu pengkajian dalam karya sastra termasuk salah satunya novel adalah dengan menggunakan kajian semiotika. Semiotika seringkali kita kenal sebagai ilmu tanda. Semiotika sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ratna (2007:105) menyampaikan  bahwa  semiotika berfungsi mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda baik verbal maupun non verbal pada kehidupan manusia. Terkait hal ini, dapat dikatakan bahwa kehidupan pada manusia penuh dengan tanda, melalui tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, dan yang terpenting manusia dapat mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap sesamanya.
Kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam novel dihidupkan oleh tokoh-tokoh yang ditampilkan, seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan persoalan-persoalan atau konflik dengan orang lain ataupun konflik yang terjadi dengan dirinya sendiri. Pengarang memegang peranan penting dalam penciptaan watak tokoh yang dilukiskannya dalam karya sastra. Demikian halnya pada  novel yang dikaji dalam penelitian ini yaitu  Saman, Ayu Utami sebagai pengarang mencoba memberikan gambaran mengenai realitas kehidupan dengan berbagai macam persoalan yang terjadi pada kehidupan manusia modern.
Novel Saman karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Pemerintahan pada waktu itu di bawah kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru muncul konflik baru yang memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia. Simpulnya, novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an.
Novel Saman adalah gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi pada masa Orde Baru yang juga disisipi di dalamnya tentang perilaku seksual yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Faktanya, sepanjang sejarah manusia, orang yang bertingkah laku seksual itu diperlakukan oleh masyarakat zamannya dengan cara yang berbeda-beda, ada yang diisolasikan, dirawat, dipasung, disiksa hebat, bahkan banyak pula yang dibakar dan dibunuh. Tingkah laku ini tentu tidak hanya dianggap sebagai tingkah laku yang patologis, tetapi juga dianggap sebagai immoral sehingga patut dimusnahkan.
Lebih lanjut, peristiwa persengketaan tanah dan kerusuhan  membawakan persoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani, penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Pada masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menanggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang membela kepentingan Soeharto, yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tuntutan itu dijawab dengan pukulan, gas air mata, aksi penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan.
Kemunculan novel Saman menjelang saat-saat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena isinya yang dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik mengenai represi politik, intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada pihak-pihak yang mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam membicarakan persoalan seks. Namun, banyak pula yang memuji karena penggambaran novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan.
Di tengah kontroversi itu, Saman berhasil mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di New York. Pada tahun 2000, novel Saman mendapatkan penghargaan bergengsi dari negeri Belanda yaitu Penghargaan Prince Clause Award. Suatu penghargaan yang diberikan kepada orang-orang dari dunia ketiga yang berprestasi dalam bidang kebudayaan dan pembangunan. Novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Samans Missie, yang diluncurkan di Amsterdam pada 9 April 2001 dan dihadiri sendiri oleh Ayu Utami.
Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta. Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap “kebangkitan” pengarang wanita dalam khazanah sastra di Tanah Air. Kemenangan Ayu Utami tidak saja telah memberi kepercayaan diri kepada pengarang wanita lain untuk menerbitkan karya-karya mereka, tetapi secara substansif telah mendeskontruksi jarak yang tadinya terbentang antara pengarang dengan pembacanya.
Saman banyak mendapat perhatian dari ilmuwan terkemuka, diantaranya Sapardi Djoko Damono dan Faruk H. T. Sapardi menganggap komposisi Saman sepanjang pengetahuannya tidak ditemukan di negeri lain, padahal karya-karya Ondaatje, Salman Rushdie, Vikram Seth, Milan Kudera adalah contoh cara bercerita sealiran dengan Saman. Dengan dilaksanakan melalui teknik itu, aliran bertutur itu menjadi menyenangkan dan kini hadir dalam sebuah novel Indonesia.


1.2 Permasalahan
Untuk mencegah adanya kekaburan masalah dan untuk mengarahkan penelitian ini agar lebih intensif dan efisien dengan tujuan yang ingin dicapai, diperlukan pembatasan masalah. Pembatasan dalam penelitian ini membahas permasalahan pada kajian singkat struktural dan pembahasan berdasarkan kajian semiotika dengan spesifikasi pada potret seksualitas  dan kritik sosial dalam novel Saman karya Ayu Utami.
I.3 Landasan Teori
1.3.1 Kajian   Struktural
Strukturalisme sastra adalah pendekatan yang menekankan pada unsur –unsur di dalam (segi intrinsik) karya sastra.Unsur-unsur karya sastra, terutama prosa di antaranya adalah tema peristiwa atau kejadian, latar, penokohan atau perwatakan, alur, alur, dan sudut pandang (Ratna, 2007: 93).  Satu konsep yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam diri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom, yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang saling berjalinan (Pradopo dalam Jabrohim, 2001: 55).
Kajian  struktural sangat penting dalam  analisis karya sastra karena di dalamnya suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Analisis struktural adalah bagian prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat diketahui. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw dalam Sugihastuti, 2002:44).
Analisis struktural merupakan tahap awal penelitian sastra yang penting dilakukan, tetapi bukan berarti analisis struktural merupakan tujuan yang utama dalam penelitian sastra. Analisis struktural merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkadang dalam karya sastra. Oleh sebab itu, peneliti jangan terjebak dalam analisis struktural sebab tujuan utama dalam penelitian adalah mengkaji makna yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Terkait hal ini, Adapun novel sendiri terdiri atas fakta-fakta cerita, alur, karakter, latar, tema, sarana-sarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi.
Selanjutnya, melalui pendekatan struktural dapat dilakukan dengan menggunakan  langkah-langkah berikut.
1)      Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra secara lengkap dan jelas, nama tema, dan nama tokohnya.
2)      Mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui bagaimana tema, alur, dan latar dari sebuah karya sastra.
3)      Mengidentifikasikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui fungsi alur, latar, dan penokohan dari sebuah karya sastra.
4)      Menghubungkan masing-masing unsur sehingga diketahui tema, alur, latar, penokohan dalam sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 1995:36).

Sebagaimana diketahui bahwa analisis struktural adalah analisis mengenai karya sastra itu sendiri tanpa melihat kaitannya dengan data di luar karya sastra tersebut. Pada taraf ini belum sampai pada pertimbangan berdasarkan hal-hal di luar karya sastra. Hal ini diungkapkan Atmazaki (1990:57), bahwa teori sastra struktural melepaskan kaitan karya sastra dengan aspek ekstrinsik.  Salah satu bagian terpenting dalam sebuah pendekatan dalam karya sastra adalah analisis. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu dari karya fiksi, misal peristiwa, alur, latar, tokoh dan lain sebagainya. Akan tetapi, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetika dan seluruh makna yang ingin dicapai. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan salah satu kajian yang membedakan antara karya sastra satu dengan karya sastra yang lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis struktural berusaha memaparkan dan menunjukkan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra serta menjelaskan interaksi antar unsur-unsur dalam membentuk makna yang utuh. Analisis yang tampak menghiraukan hubungan antar unsur-unsur intrinsik kurang berfungsi tanpa adanya interaksi tersebut. Analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan.


1.3.2  Kajian   Semiotika
Semiotika  atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan Semiotika  lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, Semiotika  didefinisikan sebagai berikut.
Semiotic is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and simbol s as part of code sistem s which are used to communicate information. Semiotic   includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code sistem s which sistem atically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise.

Semiotika  biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotika  meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia (http//id.wikipedia.org//wiki// pembicaraan:semiotika).

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa konsep dasar semiotika adalah ilmu tanda.  Zoest (dalam Mukmin, 2005:26) mengemukakan bahwa semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda yang memungkinkan tanda mempunyai makna. Hal senada juga disampaikan Jabrohim (2003:67), semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini mengangap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Semiotika sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Perkembangan Semiotika begitu pesat seiring dengan semakin berpengaruhnya proses “memaknai” dari masa ke masa. Sebagai  salah satu cabang keilmuan tidak hanya sebagai metode  decoding  akan tetapi telah berkembang menjadi metode encoding,  selanjutnya semakin berkemabang pada bidang-bidang keilmuan yang luas sehingga menciptakan cabang-cabang semiotika khusus (Piliang, 2010:88) .
            Kembali pada konsep semiotika yang berkaitan dengan  tanda, tidak serta merta mencari makna karya sastra, perlu diperhatikan fenomena di dalamnya. Sebagai gejala semiotik, karya sastra merupakan fenomena dialektika antara teks dan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa antara pembaca dengan teks terjadi dialektika dalam pemaknaan karya sastra. Makna karya sastra diperoleh sebagai akibat peran aktif pembaca. Pembaca adalah pusat peristiwa Semiotika  karena pembacalah yang memberi makna karya sastra. Karya sastra tanpa dimaknai pembaca hanya menjadi artefak atau benda mati. Karya sastra sebagai artefak akan menjadi hidup atau bermakna setelah melewati konkretisasi oleh pembaca, yang hasilnya berbeda-beda menurut hubungan tempat, waktu, dan sosial pembaca dengan karya yang bersangkutan. Dengan demikian, interpretasi sebuah karya sastra ditentukan pula oleh situasi pembaca. Tegasnya, untuk menemukan petanda, tidak hanya ditentukan oleh penanda itu, tetapi ditentukan pula oleh pembaca yang berpijak pada dan/atau diarahkan oleh petanda.
Selanjutnya, tanda mempunyai dua aspek penting yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: “orang yang melahirkan kita”. Tanda tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.  Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya.
            Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungan bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi “ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Perancis menyebutnya  la mere, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol. Dalam pengkajian  terhadap karya sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang biasanya paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya).
            Untuk dapat memberi makna novel  secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasar struktur kebahasaannya atau secara Semiotika  adalah berdasarkan konvensi sistem Semiotika  tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem Semiotika  tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.

I.4 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji novel Saman karya Ayu Utami  adalah deskriptif kualitatif.  Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sisitematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fernomena yang diselidiki (Nazir, 1988:63). Analisis secara kualitatif difokuskan pada penunjukkan makna, demakalah, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata (Mahsun, 2007:257).
Pengkajian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendemakalahan yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu atau kelompok), keadaan fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi (Sutopo, 2002:8—10). Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya. Dalam penelitian ini penulis mengungkapkan data-data yang berupa kata, frase, dan kalimat yang ada dalam novel Saman karya Ayu Utami  Permasalahan-permasalahannya dianalisis dengan menggunakan kajian semiotika dalam keterkaitannya dengan potret realita sesungguhnya.

1.4.1 Objek Penelitian
Objek Penelitian dalam sastra sangat berperen menentukan focus penelitian. Menurut Sangidu (2004 : 6), objek penelitian sastra adalah pokok atau topik penelitian dapat berupa individu, benda, bahasa, karya sastra, budaya, perilaku dan sebagainya. Objek dalam penelitian ini adalah seksualitas dan kritik sosial dalam novel Saman  karya Ayu Utami  .

1.4.2  Data dan  Sumber Data
1) Data
Data dalam penelitian ini yaitu data kualitatif. Data kualitatif berupa kata – kata atau gambar bukan angka –angka ( Aminnudin, 1990 : 16). Berdasarkan pernyataan tersebut data penelitian ini adalah kata, ungkapan, frase, kalimat dalam novel Saman  karya Ayu Utami  yang diklasifikasikan sesuai dengan analisis yang dikaji yaitu makna-makna tersirat  dibalik kata-kata lateral yang dikaji dalam heuristik dan pemkanaan selanjutnya dari makna-makna tersebut untuk menemukan makna-makna “terselubung” dengan spesifikasi pada bagian seksualitas dan kritik sosial yang terdapat pada novel Saman  karya Ayu Utami .

2) Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan adalah Novel  Saman  karya Ayu Utami  yang diterbitkan oleh PT. Gramedia cetakan keempat  tahun 1998, dengan jumlah halaman 197.
1.4.3  Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi pustaka. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan teknik catat (Subroto dalam Imron, 2003). Teknik simak adalah dengan membaca karya sastra tersebut kemudian dianalisis. Sedangkan teknik catat adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat dalam sebuah karya sastra tersebut kemudian ditulis dalam bentuk catatan. Data yang berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap penelitian harus memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperoleh. Pengumpulan data dengan benar-benar diperlukan oleh peneliti (Sutopo, 2002:78). Teknik simak dan catat adalah instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber  data   yaitu karya sastra sebagai sasaran penelitian yang berupa teks novel Saman karya Ayu Utami  ini  untuk memperoleh data yang diinginkan.
Teknik yang dilakukan setelah mengadakan pengumpulan data adalah analisis data. Analisis data adalah faktor yang penting dalam menentukan kualitas dari hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif pula. Menurut Sutopo (2002:95), analisis kualitatif dapat digolongkan ke dalam metode deskriptif yang penerapannya bersifat menuturkan, memaparkan, memberikan, menganalisis, dan menafsirkan.
Sebagai kajian struktural  Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffatere dalam Imron, 1995: 42). Pada tahap ini, pembaca menemukan arti (meaning) secara linguistik (Abdullah dalam Imron, 1995: 43). Realisasi dari pembacaan heuristik ini dapat berupa sinopsis (Riffaterre dalam Imron, 1995: 43). Dengan mempergunakan teknik pembacaan heuristik, pembaca melakukan interpretasi secara referensial melalui tanda linguistik. Dalam tahap ini pembaca mampu memberi arti bentuk linguistik yang mungkin saja tidak gramatikal. Hal ini mengasumsikan  bahwa bahasa bersifat referensial, arti bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal yang lainnya.
          Selanjutnya teknik pembacaan hermeneutika  yang pada dasarnya suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlukan sebagai teks itu untuk mencari arti dan maknanya. Metode ini mengisyaratkan kemampuan menafsirkan keadaan masa lampau yang tidak dialaminya dan kemudian dibawa pada keadaan masa sekarang. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika  tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami kandungan makna literal. Akan tetapi lebih dari itu, hermeneutika  berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud dalam hal ini adalah horison teks maupun horizon pengarang. Oleh sebab itu, diharapkan adanya suatu upaya pemahaman atau penafsiran yang menjadi kegiatan rekontruksi dan reproduksi makna teks.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika  memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks,kemudian melakukan upaya kontekstual (Fais, 2002: 11—12). Hubungan antara heuristik dan hermeneutik dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan kerja hermeneutik yang oleh Riffaterre juga sebagai pembaca retroaktif memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 1995: 35).

II. GAMBARAN  UMUM

Novel Saman bercerita mengenai perjuangan seorang pemuda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang tertindas oleh negara melalui aparat militernya. Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam novel Saman antara lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka muda, berpendidikan dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam mendefinisikan seksualitas perempuan.
Cerita dalam novel Saman berputar diantara empat perempuan tersebut yaitu Shakuntala, Yasmin, Laila, Cok. Novel ini mengisahkan masa kecil mereka sampai saat mereka berumur tiga puluhan. Dalam novel ini juga dijabarkan mengenai pencarian identitas diri mereka sebagai perempuan, konflik batin mereka tentang masalah seksual dan juga norma masyarakat yang tidak mereka setujui. Selain kisah keempat perempuan tersebut, juga diceritakan mengenai perjuangan Saman dalam membantu masyarakat Lubukrantau, masalah politik dan sosial di masa Orde Baru, iman kepada Tuhan yang diuji, dan bahkan juga ada bagian surealistis yang  menceritakan masa lalu Saman di Prabumulih  
Secara umum novel Saman membahas tentang  perjuangan Saman dalam membela penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor, Saman harus menyaksikan penderitaan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum penguasa Sei Kumbang melalui aparat militer. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Keadaan ini membuat Saman terpaksa menanggalkan jubah kepastorannya dan bersama teman-temannya mendirikan sebuah LSM yang menangani masalah perkebunan.
Saman berusaha untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan sewenang-wenang aparat militer dengan berbagai cara. Akan tetapi, keterlibatan Saman tersebut membuat dirinya mendapat berbagai fitnah yang dilontarkan oleh aparat militer. Para aparat militer menuduh Saman telah mengajarkan ajaran yang beraliran kiri, yang membuat mereka akan menangkap Saman. Berkat bantuan teman-temannya Saman berhasil lolos dari kejaran aparat militer dan ia melarikan diri ke New York. Meskipun berada di New York, Saman mencari informasi mengenai keadaan di tanah air, yang saat itu terjadi kerusuhan-kerusuhan terutama di Medan. Saman berusaha membuat suatu usaha yang sedikit banyak bisa membantu membiayai beberapa orang Lubukrantau yang sekarang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekerjaan.
Novel Saman berani mendobrak tabu yang sangat kuat membebani kaum hawa. Dalam Saman, seks bukanlah bumbu cerita tetapi menjadi bagian dalam cerita itu sendiri. Dengan ringan para tokoh berbicara tentang seksualitas begitu terbuka, mereka berani menunjukkan hasratnya. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu bagi perempuan ternyata ditampilkan dengan cukup memikat bahkan mengejutkan. Konsep jelas yang menjadi sorotan dalam Saman adalah tentang perempuan dan seks.
Gambaran konsep perempuan dalam novel Saman adalah potret tentang perempuan masa kini yang dengan leluasa bergerak dan  memilih jalan hidupnya sendiri. Potret perempuan yang sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria. Penggambaran justru sebaliknya, jika dalam pandangan umum sosok laki-laki yang dikenal sebagai “penolong”, justru dalam novel ini Saman sebagai lak-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok. Saman menjadi buronan karena kegiatan-kegiatan LSMnya. Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dan mengirimnya ke New York. Proses pelarian ini cukup berbahaya, bahkan Saman mengakui “Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap ketegangan sebagai petualangan.”
Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai oleh Shakuntala dan teman-temannya, masih ada juga ketidakadilan bagi perempuan Indonesia di tahun 1990-an, yang tercermin dalam novel Saman. Contohnya adalah Upi, gadis Lubukrantau yang menderita kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk merawat orang-orang seperti Upi, dan juga tidak ada perlindungan hukum dan keadilan untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya, dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan mereka. Keadaan ini dikritik oleh Ayu Utami dengan cara menampilkan tokoh Saman yang ditampilkan sebagai seorang pastor. Saman bukan hanya tidak memanfaatkan Upi, ia bahkan membuat rumah perlindungan yang lebih bagus untuk Upi, dan selalu memikirkan keselamatannya
Selanjutnya terkait seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan pada pihak yang kalah. Perempuan dalam Saman adalah cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1900-an, yang masih mengalami ketidakadilan dan penindasan yaitu kurangnya perlindungan hukum untuk menangani kekerasan seksual, ataupun norma masyarakat yang membatasi penggunaan hak seksual perempuan. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memililiki peran mereka. Mereka bisa menikmati pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-masing.
Dua potret inilah yang menjadi topik utama sebagai penggambaran terhadap makna-makna tersirat yang disampaikan oleh pengarang. Melalui pembahasan Semiotika dalam keterkaitannya dengan realita kontemporer telah membawa novel ini menjadi bagian yang begitu fundamental dalam kehidupan.


III. PEMBAHASAN

3.1 Kajian Struktural
            Secara umum tema yang diangkat  dari novel Saman adalah perjuangan Saman dalam membela penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Seorang Saman yang berusaha  membantu masyarakat transmigrasi tersebut agar dapat menyelesaikn permasalahan mereka terkait sengketa tanah. Kisah perjuangan yang dipoles  dengan pernak-pernik cinta yang terselubung nafsu dan tergambar dalam konteks kaca mata seksual. Tema ini pada dasarnya menjadi penopang terhadap bagian-bagian lain yang dirasakan terlalu vulgar membahas tentang seksualitas. 
Terkait tokoh, terdapat beberapa tokoh dalam novel ini. Tokoh utama dalam novel Saman adalah Saman atau Wisanggeni. Tokoh Saman ditentukan sebagai tokoh utama karena tokoh Saman paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, tokoh Saman mengalami banyak permasalahan, dan tokoh Saman merupakan tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan dalam novel Saman adalah Laila Gagarina, Yasmin Moningka, Shakuntala, Sihar Situmorang, Cok, Rosano, Upi, Toni, Iman, Hasyim,  Ali, Romo Dru, Ibu Wis, Pak Sarbini, Teki Kosasih atau Kongtek, Astuti, Ichsan, Rogam, Anson, Nasri, Mak Argani, Totem Phallus, Petugas PT ALM, Suster Marietta, Hensel, Gretel, Pak Agus, Timin, Mintoraharjo, Mei Yin, Abby Chan, Araya, Lukas Hadi Prasetyo, Mayasak Yuly Kristanto, Diyanti Munawar, Romo Martin, Tulin Nababan, Benjamin Silberman, Nodmi, Ruth, Er, dan Tamar. Tokoh-tokoh tersebut ditentukan sebagai tokoh bawahan, karena tokoh tersebut mengalami sedikit permasalahan, sedikit berhubungan dengan tokoh lain, dan sedikit memerlukan waktu penceritaan. Adanya tokoh bawahan tersebut dalam sebuah cerita bertujuan sebagai pendukung tokoh utama.
Pembagian latar waktu secara umum  yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami disusun tidak secara kronologis atau berurutan, namun latar waktu dalam novel Saman yang melingkupi sebuah cerita berlangsung selama tiga puluh empat tahun yaitu dari tahun 1962 sampai 1996. Pada tahun 1962 adalah tahun kelahiran Saman. Sedangkan tahun 1996 adalah ketika Laila sedang menunggu Sihar di taman.
Latar tempat sekaligus penggambaran latar sosial dalam novel ini terdiri dari delapan bagian. Pertama di New York,  ini dapat dilihat ketika Laila sedang menunggu Sihar. Selain itu di kota inilah penceritaan mengenai Shakuntala ketika tinggal di New york dan mengeksplorasi tari. New York juga menjadi latar tempat ketika Saman melarikan diri setelah dituduh kalau dirinya menjadi dalang kerusuhan di Prabumulih. Melewati perjalanan dari Pekanbaru, Medan dan akhirnya Saman berhasil juga sampai di New York. Kedua  di  Pabrik Kilang Minyak di Lepas Pantai Laut Cina Selatan,  ini digunakan dalam penceritaan mengenai awal pertemuan Laila dan Sihar di sebuah Rig. Ketiga di  Pulau Matak, ini digunakan ketika Sihar dan Laila sedang berbincang-bincang mengenai Rosano. Keempat di Prabumulih yang  digunakan dalam penceritaan mengenai pertemuan antara Sihar, Laila dan Saman. Di tempat ini Laila bertujuan menemui Saman untuk melaporkan kejadian kecelakaan yang terjadi di kilang minyak. Kelima, di sebuah Gereja, ini dapat dilihat pada saat upacara misa pentahbisan Wisanggeni menjadi Pater Wisanggeni atau Romo Wis. Keenam di Lubukrantau,   ini dapat dilihat pada saat penceritaan mengenai Wisanggeni yang memilih untuk tinggal di Lubukrantau, yang bertujuan untuk meringankan penderitaan para warga transmigrasi Sei Kumbang terutama meringankan penderitaan si gadis yang bernama Upi. Ketujuh di  Ruang Penyekapan,  ini digunakan ketika penceritaan Saman yang disekap oleh orang-orang PT Anugrah Lahan Makmur, karena Saman dianggap telah mempengaruhi warga Sei Kumbang supaya tidak mau melepaskan tanahnya untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Terakhir di  Rumah Sakit, ini dapat kita lihat pada saat penceritaan mengenai tokoh Saman yang sedang dirawat di rumah sakit, setelah berhasil diselamatkan oleh Anson dan kawan-kawannya dari tempat penyekapan. Selama Saman berada di dalam penyekapan Saman mengalami luka parah akibat penyiksaan yang dilakukan oleh orang-orang PT Anugrah Lahan Makmur.
Adapun alur yang terdapat dalam novel Saman merupakan alur yang menceritakan mengenai cerita pokok dari novel Saman. Ditentukan sebagai alur utama, karena cerita-cerita tersebut merupakan inti novel Saman yaitu ceritanya merujuk pada tokoh Saman. Penceritaan tokoh Saman dari kecil sampai dewasa, yang akhirnya ia menjadi seorang pastor dan terlibat dengan penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Akhirnya ia menjadi buron, karena dituduh sebagai dalang kekacauan yang terjadi di Lubukrantau dan berhasil melarikan diri ke New York dengan bantuan teman-temannya. Alur penunjang diawali dengan penceritaan mengenai pertemuan Laila dengan Sihar sampai penceritaan Shakuntala tentang penantian Laila. Peristiwa tersebut merupakan alur tambahan, karena peristiwa ini merupakan cerita yang menunjang peristiwa-peristiwa pokok. Selain itu, alur tambahan ini ceritanya merujuk pada tokoh Laila. Tokoh Laila mendukung dalam penceritaan tokoh Saman. Hal ini dapat dilihat pada saat Laila dan Sihar pergi ke Prabumulih  untuk menemui Saman dalam rangka pencarian keadilan tentang kasus yang dilakukan oleh Rosano. Mereka saling bekerja sama mencari akal supaya Rosano dapat dimasukkan ke penjara. Dengan berbagai cara akhirnya mereka berhasil menjebloskankan Rosano ke penjara.
Berdasarkan kajian struktural ini, dapat terlihat bahwa konsep perjuangan dalam kaca mata Saman terlihat dari tokoh utama yang digambarkan sebagai sosok yang penolong dan sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya. Saman berusaha untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Akan tetapi, keterlibatan Saman tersebut membuat dirinya mendapat berbagai fitnah yang dilontarkan oleh aparat militer. Para aparat militer mengejar Saman dengan tuduhan  telah mengajarkan ajaran yang beraliran kiri. Berkat bantuan teman-temannya, Saman berhasil lolos dari kejaran aparat militer dan ia melarikan diri ke New York. Meskipun berada di New York, Saman mencari informasi mengenai keadaan di tanah air, yang saat itu terjadi kerusuhan-kerusuhan terutama di Medan. Saman dan teman-temannya berusaha membuat suatu usaha yang sedikit banyak bisa membantu membiayai beberapa orang Lubukrantau yang sekarang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekerjaan.
3.2 Kajian Semiotika
3.2.1 Kajian Semiotika Satu (Heuristik)
            Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yaitu berdasarkan semiotika pertama. Pembacaan jenis ini bertujuan untuk menemukan arti bahasanya. Dalam hal ini pembacaan lebih menekankan pada tata bahasa ceritanya sehingga isi dari hasil bacaan heuristik ini adalah cerita dari awal hingga akhir. Pembacaan jenis ini menghasilkan petanda-petanda berupa peristiwa kronologis yang berurutan dan antar peristiwa yang satu dengan yang lain saling berhubungan sesuai dengan cerita itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa, dalam pembacaan heuristik ini, cerpen  dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya.
Novel Saman lebih banyak mengupas tentang tokoh utamanya yaitu Saman. Cerita-cerita lain yang melibatkan tokoh-tokoh lain seperti para perempuan, teman-temannya Saman adalah sebuah lingkupan yang pada dasarnya berhubungan dengan Saman. Secara umum dalam novel  ini dapat ditemukan beberapa peristiwa penting yang dianggap mewakili  setiap tahap maupun bagiannya.
Saman yang  muncul ketika ia telah diangkat menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa tempat masa kecilnya mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Akan tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak sesuai dengan keputusan yang diberikan oleh Uskup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Sesungguhnya persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Prabumulih . Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan.  (Saman, hlm: 42).

Kemunculan  tokoh Romo Daru sebagai seorang pastor senior yang banyak menghabiskan waktunya di persemedian. Romo Daru berusaha melobi Bapak Uskup supaya Saman dapat ditugaskan di Prabumulih  sesuai dengan keinginan Saman. Berkat usaha Romo Daru, akhirnya Saman ditugaskan sebagai Pastor Paroki Parid yang melayani kota kecil di Prabumilih  dan Karang Endah wilayah keuskupan Palembang. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Barangkali Tuhan mengutusnya. Barangkali Tuhan Hanya  mengabulkan harapannya. Uskup menugaskan dia sebagai Pastor Paroki Parid, yang melayani kota kecil. Prabumulih  dan Karang Endah, wilayah keuskupan Palembang. Umat di daerah itu sekitar lima ratus saja. Barangkali Romo Daru melobi untuk dia (Wis belum berhasil menemui dia untuk berterimakasih atau konfirmasi) (Saman, hlm: 57).

Selanjutnya, setelah melakukan perjalanan jauh menuju tempat tugasnya Saman beristirahat. Di kamar tidur kepastoran Saman mengalami kegelisahan. Ia telah melihat kesengsaraan di balik kota-kota maju, tetapi belum pernah ia menyaksikan keterbelakangan yang dialami oleh Upi. Upi adalah anak dari salah satu transmigrasi Sei Kumbang yang bertempat di Lubukrantau yang mengalami kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dan pemerintah untuk merawat orang-orang seperti Upi, sehingga Upi harus dikurung dan dikerangkeng di sebuah tempat yang dianggap tidak layak untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan mereka.  Saman berusaha untuk menyelematkan Upi dengan membuatkan rumah perlindungan yang lebih bagus bagi Upi. Semua ini ia lakukan dengan cara meminta izin kepada Mak Argani yang  merupakan orang tua Upi untuk membuatkan tempat yang lebih baik untuk tempat tinggal Upi.
Saman diperbolehkan untuk membangun tempat tinggal Upi yang lebih sehat dan menyenangkan. Dengan membangun tempat tinggal yang lebih baik, Saman berharap dapat lebih meringankan penderitaan Upi. Saman begitu memikirkan keselamatan Upi. Sampai-sampai ia memilih untuk tinggal lebih lama bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Dengan bertempat tinggal bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang Saman bisa selalu melihat Upi dan bisa selalu menjaganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Ketika waktunya gips pada kaki Upi dibuka, Wis meminta izin dari pastor kepala, Pater Wastenberg, untuk pergi lima hari, berangkat Senin siang kembali Sabtu pagi. Kali ini ia membawa gergaji rantai. Juga segulung kawat pagar, satu sak semen, dan beberapa lembar seng yang didapatnya dari toko bangunan Kong Tek. Orang Cina itu memberinya dengan hanya -hanya . Ia juga berbekal mi instan, sekantong beras ukuran lima liter, dan abon. Sekali lagi Rogam mengantarnya dengan jip Ichwan. Mereka membawa seorang dokter muda dari puskesmas. Tengah hari Rogam dan dokter itu kembali ke utara, namun Wis tinggal di Lubukrantau, dusun tempat tingal Upi itu adalah salah satu desa di daerah transmigrasi Sei Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cicakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka (Saman, hlm: 73-74).

Saman juga tidak tahan melihat kemunduran petani yang terjadi pada penduduk transmigrasi Sei Kumbang yang harus pergi meninggalkan desa karena harga karet mereka terus menerus diserang cendawan putih ataupun merah. Orang-orang tidak bisa lagi menggantungkan diri dari hasil panen karet. Saman berusaha untuk memperbaiki keadaan petani di Lubukrantau.  Saman Akhirnya menemukan Pastor Wastenberg memberikan kesempatan kepada Saman untuk melakukan rencana memperbaiki keadaan petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Walaupun awalnya Pater Wastenberg tidak setuju atas keputusan Saman untuk melakukan hal ini, karena ia dianggap telah menyepelekan pelajaran gereja. Ia kerap dipersalahkan karena acap meninggalkan kewajiban itu. Ia lebih sering pergi ke penduduk transmigrasi Sei Kumbang daripada melayani dan memelihara iman umat di sana. Akan tetapi setelah mendengar alasan-alasan yang diucapkan Saman, Pater Wastenberg akhirnya menyetujui akan keputusan yang diambil oleh Saman. Bahkan Pater Wastenberg berani mengusulkan agar Uskup memberi Saman pekerjaan kategorial di perkebunan, jika Saman berhasil dalam usahanya    . Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Si pater Belanda mengamati Wis, akhirnya dengan iba menyerahkan kepada pemuda itu. Apa yang bisa saya lakukan untukmu? tanpa restu Bapa Uskup, tak ada bujet untuk rencana-rencanamu. Uang sakumu amat kecil, saya kira. Namun, agak untung juga bahwa kamu memilih menjadi imam praja, sehingga kamu bisa mengelola uang lepas dari ikatan ordo. Jika kamu bisa mengusahakan dana sendiri satu bulan. Satu minggu sisanya kamu harus di ada paroki. Jika saya melihat hasilnya, saya berani mengusulkan agar Uskup memberimu pekerjaan kategorial di perkebunan (Saman, hlm: 82).
Selain itu pengarang juga memunculkan tokoh bernama Sudoyo yang merupakan orang tua Saman. Sudoyo mengabulkan permohonan yang diajukan Saman yaitu dengan memberikan modal kepada Saman sebesar lima atau enam juta rupiah. Dengan pemberian modal tersebut Saman bisa menjalankan rencananya untuk memperbaiki pertanian penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Wis berterima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Setelah mandi, yang pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita dan kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal, sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya (Saman, hlm: 83).

Ayahnya memberi balasan setuju. Lalu Wis kembali ke Lubukrantau. Upi menjerit-njerit senang ketika mendengar suara pemuda itu. Tapi ia menemui gadis itu sebentar saja, sebab ia hendak membicarakan sesuatu yang serius dengan ibu dan abangnya (Saman, hlm: 83).

Selanjutnya digambarkan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui PT ALM. Hal inilah yang akhirnya membuat  Saman melakukan perlawanan dengan cara Saman memutuskan untuk pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang telah maju. Saman juga mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawan ke lahan transmigrasi Sei Kumbang, orang-orang yang akan menggusur dusun tersebut tidak lagi bolak-balik dengan membawa blanko kosong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.
(Saman, hlm: 92-93)
Dalam kisah selanjutnya, ketika Saman dalam persembunyian untuk menghindari kejaran polisi, karena Saman dituduh sebagai dalang dalam peristiwa yang terjadi di Lubukrantau, tiba-tiba Yasmin datang menemui Saman. Yasmin membujuk Saman untuk melarikan diri ke luar negeri. Saman merasa tidak mempunyai cukup waktu untuk menimbang-nimbang tawaran. Akhirnya ia menyetujui usul itu, karena menurutnya semakin lama menunda keputusan, semakin sulit untuk keluar dari negeri ini dan menghindari kejaran polisi.  Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil. hanya  Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambut, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia biasa bekerja (Saman, hlm: 175).

Selain itu, Yasmin sebagai tokoh yang sudah mempunyai suami dapat melakukan hubungan seksual dengan tokoh yang bernama Saman yang bukan suaminya sendiri merupakan sebuah penanda bahwa Yasmin mengalami ketidakpuasan dalam rumah tangganya. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Namun tak kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya. Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku terlelap. (Saman, hlm: 177).

Pemunculan-pemunculan gambaran tentang tokoh-tokoh wanita lain selain Yasmin juga menggambarkan bahwa mereka begitu bebas dalam hidup.  Mereka muncul dengan digambarkan seolah-olah untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi Saman dalam usahanya untuk melakukan pelarian ke luar negeri. Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dengan mengirimnya ke New York. Mereka melarikan Saman keluar dari Medan dengan cara melakukan penyamaran pada diri Saman. Yasmin telah menyiapkan segala hal dengan rapi. Walaupun proses pelarian ini cukup berbahaya, tetapi Yasmin dan Cok dapat melampaui rintangan itu dan berhasil melarikan Saman ke New York.

3.2.2 Kajian Semiotika kedua (Hermeneutik)
Berbeda dengan kajian heuristik yang hanya dalam tataran ”bacaan sekilas”, pembacaan hermeneutik dimaknakan sebagai bacaan secara mendalam. Sangat wajar dan memang seharusnya jika suatu karya sastra dibaca secara mendalam. Karya sastra  merupakan suatu hasil ciptaan manusia yang berisi keindahan dan kedalaman bahasa karena kelihaian pengarang dalam menciptakannya. Karena keindahannya itu, karya sastra begitu mudah dan menyenangkan untuk dianalisis. Sebagai bagian dari kajian Semiotika, hermeneutik akan mampu membawa  pembaca agar tidak hanya memahami secara sekilas suatu karya sastra, tetapi juga kedalaman isi dari karya sastra tersebut.
Kajian hermeneutik sebagai pemaknaan ”kedua”  merupakan interpretasi dari konsep Semiotika yang disampaikan beberapa ahli. Konsep umum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah proses semiosis. Interpretan yang muncul menjelma menjadi interpretan baru dan memiliki objek. Berikut prosesnya.

    
Proses semiosis  ini juga  digambarkan pada bagan berikut.

Tanda  (S) ==>   Objek (O)  ==>    Interpretan (I) (S2) ==>    Objek (O2)        ==> Interpretan (I2) (S3)                   ==> Objek (O3)  ==>             Interpretan 3… ==> dan seterusnya.
  (Hoed, 2000)

            Berdasarkan proses semios ini, kajian hermeneutik pada novel Saman dalam penelitian ini dibagi dalam dua kajian utama yaitu penggamabaran tentang potret perilaku seksual dan kritik sosial terhadap kondisi yang ada. Potret perilaku seksual di dalamnya mengkaji juga tentang gambaran  perilaku seksual dan perilaku seks menyimpang serta keterkaitan antara seksual dengan hak-hak perempuan. Pengkajian tentang kritik sosial mencakup tentang muatan politik terkait, potret kondisi sosial yang memperlihatkan tentang perbedaan  konvensi tentang perempuan.  Berikut pembahasannya.

3.2.2.1  Potret Perilaku Seksual
Pengkajian tentang seksualitas pada dasarnya bukanlah sesuatu yang tabu terutama jika kita mengetahui esensi dari pembelajaran ini. Justru, dengan diadakan pengkajian tentang seksualitas dapat diketahui tentang permasalahan di masyarakat yang salah satunya adalah terkait penyimpangan seksual. Seks itu merupakan energi psikis, yang ikut mendorong manusia untuk bertingkah laku. Tidak hanya  bertingkah laku di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual atau bersenggama, akan tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan non seksual. Misalnya, prestasi di bidang ilmiah, seni melakukan tugas-tugas moril, dan lain-lain. Sebagai energi psikis, seks merupakan motivasi atau dorongan untuk berbuat atau bertingkah laku.
Dewasa ini khususunya di dunia timur, seks menjadi tabu untuk dibicarakan meskipun antara orang tua dengan anaknya sendiri sehingga pendidikan seks juga masih kurang. Sulitnya komunikasi khususnya dengan orang tua menyebabkan perilaku seksual yang tidak diharapkan. Anggapan menimbulkan sikap negative terhadap seks, orang tua dan pendidik jadi tidak mau terbuka atau berterus terang kepada anak-anak tentang seks karena takut bila anak-anak tersebut anak tersebut ikut-ikutan melakukan hubungan seks secara bebas. Pendidikan tentang seksual terhadap seseorang seharusnya diberikan sejak dini, karena ini akan berhubungan dengan pola pikir ke depan terutama ketika akan beranjak remaja. Para remaja tentu akan lebih baik jika memahami konsep seksualitas yang sebenarnya, yang tidak hanya pada hal-hal yang selama ini dianggap tabu dalam pandangan masyarakat. Seksualitas pada dasarnya meliputi sebuah perasaan, hubungan antar manusia, serta komunikasi antar pasangan sehingga tidak dibatasi oleh keadaan fisik seseorang. Seksualitas adalah aspek penting dalam kehidupan yang mempengaruhi cara kita memperlihatkan kasih sayang, menilai diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Seksualitas didasarkan atas nilai-nilai pribadi yang kita sendiri
Terkait dengan konsep seksualitas yang masih kontroversi, tanpa terlepas juga dari problematika yang berada di dalamnya, novel Saman justru mengupas secara terbuka tentang seksualitas. Namun, kemunculan novel ini tentu membawa sebuah kontroversi polemik  pada bagian-bagian dalam masyarakat. Seperti yang telah sama-sama diketahui bahwa dalam pandangan masyarakat timur novel Saman banyak mengundang tanggapan, khususnya kontroversi masalah seksualitas yang diungkapkan dalam novel tersebut. Wajar, dunia timur yang dikenal dahulunya memiliki aturan adat yang kuat tentu sedikit banyak menentang vulgaritas dalam karya sastra. Sebut saja, roman-roman terdahulu seperti Siti Nurbaya ataupun Azab dan Sengsara yang kajiannya sama-sama membahas tentang wanita seperti halnya Saman,  memiliki aturan yang begitu tertata seakan-akan menutupi seksualitas. Namun, pada Saman begitu jelas dan terbuka membicarakan tentang organ tubuh wanita yang paling intim serta membicarakan masalah seksual, khususnya pada bagian tokoh-tokoh wanita.
Novel ini menunjukkan keberanian dalam bercerita tentang eksistensi seks perempuan dan mengemas tentang cerita dan seks yang benar-benar berbeda. Demikian juga pengembaraan tentang dunia lesbian yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia, dilakukan dengan metafora yang sangat indah. Dapat dikatakan bahwa novel ini berani melawan tabu yang ada dalam masyarakat yang sarat dengan konvensi-konvensi budaya.
Pemahaman terkait normalitas  tentang  seksual bersangkut paut dengan tingkah laku seksual. Pada hakekatnya, konsep tentang normalitas dan seksualitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab, kebiasaan-kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan sebagai normal oleh suatu kelompok masyarakat, dapat dianggap sebagai seksual oleh kelompok kebudayaan lainnya. Sesuatu  yang dianggap sebagai seksual oleh beberapa generasi sebelum kita misalnya dianggap sebagai normal pada saat ini.
Novel  Saman amat menarik untuk dikaji karena menyajikan hubungan yang digambarkan begitu terbuka, seakan tanpa kekangan, yang meliputi  hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan cinta kasih antara pria dan wanita, antara orang tua dan anak, antara sesama manusia, hubungan seks antara pria dan wanita. Cerita dalam novel Saman ini serat akan unsur-unsur psikologi. Pengungkapan pengarang  diperjelas mengenai perilaku-perilaku seksual serta yang melatarbelakanginya.
Secara khusus perilaku seksual yang menjadi  persoalan yang diangkat novel Saman menceritakan promiscuity, biseksual, perzinaan, zoofilia, masturbasi dan perkosaan. Novel ini mengungkapkan perilaku seksual yang kompleks dan menarik untuk dikaji.  Oleh sebab itu, untuk mengkaji novel Saman diperlukan upaya guna menentukan kontribusi pemikiran dalam memahami aspek hidup dan kehidupan pada dasarnya terdiri dari jiwa dan raga tersebut. Tentu, tidak serta merta kita hanya mengkajinya dari kevulgaran seksualitas melainkan kita harus melihat sisi-sisi terang di balik semua itu yang mungkin dianggap gelap oleh sebagian orang yang “membaca” novel ini dari segi vulgaritasnya semata. Apalagi pengarang dengan jelas menampilkan permasalahan-permasalahan yang kontroversi dengan budaya timur yang mungkin selama ini penuh dengan pengekangan, ataupun vulgaritas seksual yang ditutup-tutupi dengan begitu rapi dalam sebuah tataran yang disebut aturan.
Konsep seksual yang begitu terbuka dikupas oleh sang pengarang tampak sekali terlihat dari tokoh-tokoh yang berada di dalamnya. Seksualitas yang selama ini ditutupi dengan sebegitu apik ternyata mampu dibuka secara kasat mata oleh sang pengarang. Ini adalah sebuah simbol  kekuatan dari sang pengarang dalam membawa sebuah pencitraan terhadap kebebasan bersastra. Tentu, di sebalik “kevulgaran” tersebut menyimpan seribu makna yang dapat diinterpretasikan sebagai gambaran sekaligus kritik terhadap realita sesungguhnya.
Hubungan seks secara bebas dan dapat  dengan siapaun terang-terangan, dan tanpa malu-malu sebab didorong oleh nafsu-nafsu seks yang tidak terintergasi, tidak tidak berarti bahwa pelaku seksual tersebut tidak “matang/ dewasa” atau  tidak mengetahui kondisi “wajar” dalam masyarakat. Ini digambarkan misalnya dari hubungan-hubungan yang diperlihatkan oleh Yasmin dan Saman.
Tentu, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat sebagai sosok yang belum dewasa. Apalagi dari segi usia dan pengalaan mereka sudah sangat matang, terutama Yasmin yang notabenenya adalah sosok yang berasal dari pendidikan yang tinggi tetap saja melakukan hubungan yang dipandang menyimpang dalam sosial masyarakat. Sebut saja, hubungan perselingkuhan antara keduanya adalah potret yang sebenarnya juga terjadi di masyarakat, yang pembahasan secara lateral seringkali ditutupi. Jika dianalisis lebih jauh, Yasmin dan Saman mungkin dapat dikategorikan dalam bagian penganut-penganut promiscuity itu menuntutdiberikan kebebasan seks secara ekstrim dalam iklim “ cinta bebas” dan “seks bebas”.
Konsep perselingkuhan ini juga ternyata terjadi pada Laila dan Sihar. meskipun antara keduanya dianggap lebih “terhormat” dibanding kisah perselingkuhan Saman dan Yasmin, tetap saja dua hubungan ini jelas bertentangan dalam pandangan masyarakat, khususnya di dunia timur seperti Indonesia yang begitu mengagungkan perkawinan yang sah. Namun, jika kita menyadari bahwa sebenarnya dua hubungan ini adalah sebuah potret yang terjadi di masyarakat, bukan hanya dewasa ini tetapi sudah dari dahulu. Tentu, kita tidak dapat mengingkari bahwa konsep perselingkuhan telah ada pada zaman dahulu kala. Akan tetapi, ternyata baru terkuak begitu jelas dalam Saman.
Secara umum kesimpulan kita akan jelas mengatakan bahwa  bahwa Yasmin, Saman, Laila, dan Sihar telah memilih jalan promiscuous atau campur aduk seksual tanpa aturan, yang dalam hal ini adalah sebuah ikatan sah pernikahan. Lebih spesifik, hubungan Saman dan Yasmin tentu tidak sekedar perselingkuhan tanpa pelibatan hubungan seksual, secara literal mereka tentu ingin mendapatkan pengalama-pengalaman seksual yang intensif dan eksesif tanpa dibatasi oleh norma-norma sosial dan tabu-tabu agama, yang mengatur kebebasan manusia dalam relasi seksnya
Selain konsep selingkuh dalam kaca  mata “kebebasan” seksual di atas, novel ini juga mengupas tentang sisi lain dari perilaku yang dianggap menyimpang dalam pandangan seksual pada  lazimnya. Jika hubungan Saman dan Yasmin atau Laila dan Sihar adalah sesuatu hal yang dianggap masih “wajar” karena sudah merupakan rahasia umum yang terselubung, ternyata ada sisi lain yang dibahas dalam Saman yang juga mengupas tentang perilaku seksual menyimpang yang sebenarnya menjadi kritik terhadap sebuah realita.  Perilaku seksual yang tidak wajar ini digambarkan pada Si Upi, seorang anak perempuan yang beranjak remaja yang memiliki perilaku aneh, yang pada dasarnya berasal dari seksualitasnya yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya.
Upi adalah sebuah potret tentang keterbelakangan sosok perempuan yang dalam pandangan Saman sebagai sosok telah melihat kesengsaraan di balik kota-kota maju, tetapi belum pernah ia menyaksikan keterbelakangan yang dialami oleh Upi. Potret Upi adalah gambaran tentang keterbelakangan budaya pada  anak dari salah satu transmigrasi Sei Kumbang yang bertempat di Lubukrantau yang mengalami kelainan jiwa dan kelainan seks. Tragisnya, pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dan pemerintah untuk merawat orang-orang seperti Upi, sehingga Upi harus dikurung dan dikerangkeng di sebuah tempat yang dianggap tidak layak untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan mereka. Jelas ini adalah sebuah perilaku menyimpang dalam kaca mata seksualitas terkait ketidaknormalan Si Upi, yang pada dasarnya adalah sebuah gambaran tentang kondisi perempuan.
Permasalahan di atas lebih spesifik jika dibahas sebagai bagian dari permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan. Ketidakadilan yang dialami perempuan setidaknya menjadi gambaran dari potret-potret yang dihifangkan pengarang dalam Saman ini. Adanya ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada tahun 1990-an tercermin dalam novel Saman yang dimunculkan melalui tokoh yang bernama Upi. Keadaan ini dikritik oleh pengarang dengan cara menampilkan tokoh Saman sebagai seorang yang peduli pada penderitaan. Saman berusaha untuk menyelamatkan Upi dengan membuatkan rumah perlindungan yang lebih bagus bagi Upi. Semua ini ia lakukan dengan cara meminta izin kepada Mak Argani yang  merupakan orang tua Upi untuk membuatkan tempat yang lebih baik untuk tempat tinggal Upi Saman diperbolehkan untuk membangun tempat tinggal Upi yang lebih sehat dan menyenangkan. Dengan membangun tempat tinggal yang lebih baik, Saman berharap dapat lebih meringankan penderitaan Upi. Saman begitu memikirkan keselamatan Upi. Sampai-sampai ia memilih untuk tinggal lebih lama bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Dengan bertempat tinggal bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang Saman bisa selalu melihat Upi dan bisa selalu menjaganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Ketika waktunya gips pada kaki Upi dibuka, Wis meminta izin dari pastor kepala, Pater Wastenberg, untuk pergi lima hari, berangkat Senin siang kembali Sabtu pagi. Kali ini ia membawa gergaji rantai. Juga segulung kawat pagar, satu sak semen, dan beberapa lembar seng yang didapatnya dari toko bangunan Kong Tek. Orang Cina itu memberinya dengan hanya -hanya . Ia juga berbekal mi instan, sekantong beras ukuran lima liter, dan abon. Sekali lagi Rogam mengantarnya dengan jip Ichwan. Mereka membawa seorang dokter muda dari puskesmas. Tengah hari Rogam dan dokter itu kembali ke utara, namun Wis tinggal di Lubukrantau, dusun tempat tingal Upi itu adalah salah satu desa di daerah transmigrasi Sei Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cicakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka (Saman, hlm: 73—74).

Berdasarkan wacana ini dapat disimpulkan bahwa Upi sebenarnya memiliki   perilaku seksual yang menyimpang yang dianggap sebagai bagian dari kelainan sosial. Perilaku Upi yang menunjukkan perilaku seksual yang menyimpang (sakit patalogis, mengalami disfungsi, abnormal) pada umumnya berasosiasi dengan melemahnya atau merusaknya kemampuan untuk menghayati relasi-relasi seksual yang bisa saling memuaskan (dengan partnernya) dari lawan jenis kelamin; dan biasanya ada afek-afek kuat berisikan unsur rasa-rasa bersalahberdosa, dendam kesumat, dan kebencian. Tentu, analisis tentang hal ini tidak pernah terpikirkan oleh keluarganya, apalagi masyarakat atau pemerintah yang seharusnya melindunginya. Kenyataanya, Upi justru menjadi sosok yang sering “dipermainkan”, menjadi cemoohan, dianggap gila dan aneh dalam pandangan masyarakat.
Potret Upi adalah sebuah kritikan  tentang kondisi perempuan-perempuan yang kurang mendapatkan kepedulian baik dari keluarga, masyarakat, ataupun pemerintah. Sebuah kritik telah dilontarkan sebenarnya, dalam gambaran Upi yang tidak dipedulikan adalah sebuah potret tentang gambaran para perempuan yang tidak mendapakan kepedulian baik dari segi penyelamatan sisi fisik maupun kejiwaannya ataupun dalam tataran sosial lainnya.
Lebih luas, Saman tidak hanya membahasn dan mengkritisi  masalah ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan ataupun perilaku seksual yang menggambarkan sebuah penyimpangan seperti perselingkuhan. Di balik semua itu, seksualitas ternyata menyiratkan bahwa  Saman selain menuntut keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, juga hak seksual mereka. Jika selama ini hanya laki-laki yang dapat dengan lugas dan terbuka mengungkapkan hasratnya bahkan tentu saja tidak ada orang yang akan mempertanyakan termasuk pasangannya sedangkan  apa yang terjadi dengan  perempuan, bahkan untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja perempuan menemui kendala, bahwa ini adalah sesuatu hal yang tidak terhormat dan masyarakat tidak mudah menerima hal tersebut. Inilah yang dikupas secara terbuka sebagai bagian dari kritik terhadap “keterbelakang” perempuan, dan  kemudian terlihat dalam Saman, yaitu bahwa perempuan memiliki hasrat yang sama dengan laki-laki itu bukanlah sesuatu yang buruk.  Tentu, ini adalah keterkaitannya dengan realita bahwa  sebenarnya perempuan adalah sosok yang membutuhkan sebuah peningkatan status. Sebuah kritik telah diungkapan sedemikian menarik diungkapkan dalam novel ini. Saman berhasil menggambarkan pemberontakan hak seksual perempuan untuk menggunakan bahasa tubuh. Saman merangkum persoalan seks dan perempuan, menggambarkan perempuan apa adanya, dan semua didefinisikan secara vulgar. 

3.2.2.2  Potret dan Kritik Sosial
Saman muncul tepat pada saat bangsa ini mengalami puncak kemelut setelah bertahun-tahun berada dalam “tabir kebodohan”. Bangsa yang selama 32 tahun berada dalam “kekangan manis” pemerintahan Orde Baru. Jelas, Saman menjadi salah satu kritik terhadap pemerintahan ketika itu. Sebut saja, muncul konflik baru pada masa Orde Baru yang memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia.  Saman ternyata begitu gamblang menceritakan peristiwa persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan pesoalan peka bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit.  Secara umum, dapat kita tarik simpulan awal bahwa Novel Saman merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an.
Sebuah potret dengan menggambarkan Sei Kumbang telah begitu jelas menggambarkan  kritikan terhadap sebuah “keberingasan” oknum pemerintah maupun oknum-oknum kapitalis yang hanya memikirkan perut sendiri tanpa memerdulikan rakyat kecil. Oknum ini melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Pada novel ini juga diceritakan mengenai kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa yang memunculkan wajah rasis. Tragisnya, pemerintah justru dalam menaggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang semakin brutal dan tidak terkendalikan.
Potret tragis ini telah membuka hati Saman untuk mencoba memperbaiki. Bahkan, akhirnya ia menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron. Selain itu novel Saman juga menceritakan mengenai perjuangan seorang pemuda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang ditindas oleh negara melalui aparat militernya.  Saman yang merupakan bagian yang aktif dalam Lembaga yang peduli dengan masyarakat tentu menjadi sorotan yang harus disingkirkan. Lagi-lagi, inilah kritik terhadap oknu penguasa. Sebuah ketertindasan yang dipelihara berlama-lama,bahkan dinikmati oleh sebagian kecil orang.   Oknum ini tentu akan bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang yang akan menganggu misinya dalam penguasaan terhadap seseuatu. Sebut saja, tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun, tragisnya LSM ini justru telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, pemerintah melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM. Dari ilustrasi sudah sangat jelas sebenanrnya siapa yang layak disalahkan. Di manapun berada selama manusia masih dikategorikan sebagai makhluk Tuhan yang memiliki naluri, tentu tidak pernah menginginkan penindasan dan ketertindasan.
Terkait Pemerintahan ketika itu, Saman begitu polos dan apa adanya dalam menceritakan kondisi yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat, terutama ketertindasan yang dialami rakyat kecil. Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa beban, ia hanya asyik bercerita. Bahkan, ketika ada sisipan-sisipan pemikiran tentang Tuhan, agama, negara, hubungan mengenai ikon-ikon generasi Orde Baru yaitu generasi yang terlahir dan besar selama Orde Baru, yang dibuai dengan kelimpahan materi atau informasi dan hegemoni pembangunanisme.
Selain kritik terhadap pemerintah, novel ini juga secara gamblang menggambarkan tentang kebebasan perempuan. pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Laila, Cok, Shakuntala dan Saman yang belum menikah pada usia tiga puluhan ini, merupakan gambaran tentang sebuah konsep bahwa pernikahan adalah sebuah kekangan. Secara tidak langsung, Saman ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Bahkan, Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak Saman ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubugan seks di luar pernikahan. Usaha yang ingin disampaikan dalam Saman dapat dilihat dari pemunculan tokoh seperti Shakuntala, dan Cok yang dapat melakukan hubungan seksual dengan sejumlah laki-laki dan diantara mereka belum ada ikatan pernikahan. Selain itu, Yasmin sebagai tokoh yang sudah mempunyai suami dapat melakukan hubungan seksual dengan tokoh yang bernama Saman yang bukan suaminya sendiri. Hal ini tampak pada kutipan berikut ini.
Namun tak kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya. Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku terlelap.
(Saman, hlm: 177)

Selanjutnya, potret sosial terkait perempuan adalah bahwa sebenanrnya perempuan cukup kuat yang tidak hanya dalam berpikir, tetapi kuat dalam menyelasaikan sesuatu yang biasanya di selesaikan oleh kaum pria. Bahkan, saman menggambarkan bahwa perempuan yang justru “menyelamatkan” laki-laki. Sebuah konsep yang berbalik yang telah dipegang selama ini bahwa laki-laki yang identik dengan melindungi yang termasuk di dalamnya menyelamatkan perempuan. Tokoh Yasmin, Cok, Syakuntala dan Laila adalah potret perempuan Indonesia pada tahun 1990-an.  Mereka bisa menikmati pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil. Cuma Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambut, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia biasa bekerja.  (Saman, hlm: 175).


Zaman sudah semakin berkembang, perempuan Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup pesat. Mereka mempunyai kepercayaan diri dan pengetahuan luas, sehingga peran mereka tidak hanya sebagai istri atau ibu. Mereka merupakan perempuan yang sudah tidak  terlalu bergantung kepada kaum pria. Saman sebagai laki-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok, ketika Saman melakukan persembunyian ke luar negeri. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memilih peranan mereka. Tiga diantara empat karakter perempuan belum menikah pada usia tiga puluhan dan peren mereka tidak sebatas istri atau ibu.
Dua konsep utama terkait potret dan kritika terhadap sosial dapat dikerucutkan yaitu tentang kritikan terhadap pemerintah ketika itu dan potret tentang sebuah kebebasan perempuan. Saman begitu lugas dan jelas menggambarkan tentang ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di masyarakat ketika itu. Lebih menarik lagi, Saman mampu mengupasnya bersama-sama dengan pendobrakan terhadap perempuan yang selama ini dinilai sebagai “kelas lain” dalam tataran masyarakat. Inilah penggambaran yang jelas sebagai potret terhadap realita yang sebenarnya terjadi bahkan mungkin ada di sekitar kita.


IV. SIMPULAN
 
Novel Saman menggambarkam secara umum tentang perjuangan Saman dalam membela penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Kisah perjuangan yang dipoles  dengan pernak-pernik cinta yang terselubung nafsu dan tergambar dalam konteks kaca mata seksual.  Saman pun begitu jelas dan terbuka membicarakan tentang organ tubuh wanita yang paling intim serta membicarakan masalah seksual, khususnya pada bagian tokoh-tokoh wanita.
Tentu, ini bukanlah sebuah pemaknaan yang sangat sayang jika hanya dapat dikaji lateral karena jelas pembahasaannya yang terkesan vulgar seakan tanpa makna. Secara maknawi dalam konvensi budaya jelas terlihat bahwa terdapat sisi yang begitu  menarik di balik semua itu. Seksualitas yang dipaparkan oleh pengarang ternyata merupakan potret dan kritik terhadap realita. Tokoh Upi yang begitu menyedihkan ataupun tokoh-tokoh wanita lain yang menggambarkan sebuah potret perilaku seksual yang di dalamnya mengkaji tentang gambaran  perilaku seksual, perilaku seks menyimpang, serta yang terutama adalah keterkaitan antara seksual dengan hak-hak perempuan.
Selain itu, dalam penelitian ini juga mengupas realita di balik ketimpangan sosial di era Orde baru, merupakan sebuah pengkajian tentang kritik sosial yang terdapat pada Saman. Potret dan kritik sosial ini mencakup tentang muatan politik terkait, yaitu tentang kritikan terhadap pemerintah ketika itu, konvensi perubahan sosok perempuan  dan potret tentang sebuah kebebasan perempuan.
Saman merupakan penggambaran kehidupa masyarakat Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde Baru yang terjadi pada tahun 1990-an. Realita sesungguhnya, pada tahun 1990-an terjadi peristiwa unjuk rasa yang dilakukan oleh ratusan petani atau buruh. Mereka menuntut keadilan dari pemerintah. Melihat ketidakadilan yang dialami oleh para buruh atau masyarakat tani ini, membukakan hati para aktivis yang bergabung dalam LSM-LSM turut berunjuk rasa. Saat terjadi unjuk rasa, pengunjuk rasa tidak diberondong dengan senjata api, tetapi banyak dari pemimpin-pemimpin unjuk rasa itu ada yang diculik, diinterogasi, bahkan dianiaya oleh aparat keamanan.
Selain itu, Saman telah mampu menunjukkan bahwa zaman sudah semakin berkembang dan perempuan Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup pesat.  Saman  ingin menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari pemberian solusi-solusi yang digambarkan pada tokoh-tokoh perempuan yang diceritakan begitu lugas dan cerdas  dalam novel ini.
Secara umum dapat dikatakan  bahwa Saman adalah sebuah potret yang begitu terang tentang gambaran buram pada masa dibuatnya novel ini. Saman begitu lugas dan jelas menggambarkan tentang ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di masyarakat ketika itu. Sisi tragisnya adalah tentang gambaran kesewenangan oknum-oknum pemerintah terhadap rakyat kecil.  Selain itu,  sisi menariknya adalah bahwa Saman telah mampu mendobrak berbagai konvensi tabu di Indonesia baik mengenai represi politik, intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan.




 DAFTAR PUSTAKA



Fais, Fakhrudin. 2002. Hermeneutika  Qur'an:Antara Teks, Konteks, dan Kontekstuanisasi. Yogyakarta :Qalam.

http:cyberman.cbn.net.id. diakses tanggal 2 November 2010.

http//id.wikipedia.org//wiki//pembicaraan:semiotika. diakses tanggal 27 Oktober 2010.

http://www.qlen.hlc. unimelb.edu.au). diakses tanggal 3 November 2010.

http://www.yoogee.com). diakses tanggal 2 November 2010.

Imron, Ali.1995. Dimensi Sosial-Keagamaan Dalam Keluarga Permana:Analisis Semiotik. Yogyakarta :Universitas Gadjah Mada.

Jabrohim (Ed.). 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Mahsun, M.S. 1995. Metode   Penelitian  Bahasa: Tahapan   Strategis, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Mukmin, Suhardi. 2005. Transformasi Akhlak dalam Sastra: Kajian Semiotik Robohnya   Suaru Kami. Inderalaya:Universitas Sriwijaya.

Nazir, M. 1998. Metode Penelitian.  Jakarta:  Ghalia Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. ”Semiotika Sebagai Metode dalam Penelitian Desain”. dalam Semiotika Budaya, kumpulan Penelitian. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya FIPB UI.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan. Jakarta:Balai Pustaka.

Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Jakarta :Angkasa Raya.

Sugihastuti. 2002. Perempuan di Mata Perempuan:Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty. Bandung :Nuansa.

Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif:Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta :UNS Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa Raya.
Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.  
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.


Sinopsis Novel
 
Wisanggeni lahir di Muntilan Yogyakarta. ia termasuk anak yang beruntung karena dia adalah satu-satunya anak yang lahir dari rahim ibunya dan hidup. Dua adiknya tidak pernah lahir. Mereka mengalami suatu peristiwa aneh yang hanya diketahui oleh Wis dan pengalaman ini terjadi pada masa kecilnya. Ayahnya bernama Sudoyo, bekerja sebagai pegawai Bank Rakyat Indonesia dan sebagai mantri kesehatan di Yogyakarta. Ibunya masih keturunan raden ayu. 
Pada waktu Wis berumur empat tahun, ayahnya dipindahkan ke Prabumulih  yaitu sebuah kota minyak di tengah Sumatra Selatan yang sunyi pada masa itu, hanya ada satu bioskop dan bank yang usianya belum panjang. Di Prabumulih  ayah bekerja sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia. Setelah Wis menamatkan pendidikannya, maka diadakan upacara pengangkatan Wis sebagai pastor dan ia mendapatkan julukan Pastor Wisanggeni atau Romo Wis. Dalam sebuah acara misa, Wis bertemu dengan Romo Daru dan Wis meminta kepada Romo Daru agar dirinya ditugaskan di Prabumulih. Permintaannya itu dikabulkan. Akhirnya setelah ia berada di Prabumulih, Wis mendatangi rumahnya yang dulu dan berkenalan dengan penghuni rumahnya yang sekarang. Ketika di sana Wis mengalami kejadian-kejadian aneh lagi seperti yang pernah ia alami pada waktu kecil.
Di Prabumulih  Wis bertemu dengan seorang gadis yang cacat dan mempunyai keterbelakangan mental. Gadis itu bernama Upi. Upi adalah anak seorang transmigrasi Sei Kumbang yang tinggal di Lubukrantau. Karena perlakuannya dianggap membahayakan orang lain, maka keluarganya memutuskan untuk mengurung dan mengrangkeng Upi di sebuah bilik yang terbuat dari kayu dan bambu yang kondisinya sudah tidak sehat. Wis tidak berdaya melihat gadis di dalam kerangkeng itu. Akhirnya Wis memutuskan untuk membangun tempat yang lebih sehat dan menyenangkan Upi.
Wis merasa semakin ia mengetahui penderitaan rakyat Lubukrantau semakin ia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari mereka, yang membuatnya ingin lebih lama tinggal dan ingin memperbaiki penderitaan yang dialami oleh petani di sana. Berkat izin dari Bapak Uskup dan modal dari ayahnya, maka ia mengadakan rapat dengan keluarga Mak Argani dan membicarakan tentang rencananya untuk membangun pengolahan sederhana atau rumah asap di dusun. Suatu ketika Wis kembali ke Prabumulih  selama dua minggu. Ketika Wis kembali ke Lubukrantau, Wis dikejutkan oleh kejadian yang telah menimpa Upi gadis cacat dan gila itu telah diperkosa oleh orang-orang yang hendak merebut lahan mereka dengan cara menjebol rumah baru Upi.
Selanjutnya,  diceritakan ada empat orang datang Sei Kumbang yang mengaku bahwa mereka menjalankan tugas dari Gubernur tentang lokasi transmigrasi Sei Kumbang yang semula perkebunan karet akan diganti dengan perkebunan kelapa sawit. Para penduduk tidak sepakat untuk menganti kebunya dengan kelapa sawit. Melihat keadaan ini Wis dan penduduk mengadakan rapat yang bertempat di rumah asap. Pada rapat ini menghasilkan kesepakatan supaya penduduk jangan sesekali mau menandatangani pada lembaran kosong yang diberikan oleh pihak perusahaan PT Anugrah Lahan Makmur (ALM). Ini menghasilkan sebuah pertentangan yang akhirnya melahirkan sebuah bencana di Sei Kumbang yaitu penggusuran, pemaksaan, pemerkosaan terhadap kaum perempuan, dan lain-lain. Wis sebenarnya sangat ingin menyelamatkan Upi ketika itu, orang-orang itu menangkap Wis dan dimasukkan ke dalam penjara.
Selama di dalam penjara Wis selalu disiksa. Pada saat Wis mulai putus asa dengan keadaan yang menimpanya, Anson dan pemuda Lubukrantau menyelamatkan Wis dan membawa kabur Wis dari penjara. Wis keluar dari penjara dalam keadaan yang tidak berdaya. Wis tidak mau dipulangkan ke Prabumulih , ia meminta diantar ke rumah suster-suster Boronous yang berada di Lahat. Di sana Wis dirawat oleh suster Marietta selama kurang lebih tiga bulan. Dalam masa penyembuhan Wis membaca tuduhan-tuduhan terhadap dirinya melalui surat kabar. Setelah sembuh Wis pergi ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh lima orang suster dan satu dokter. Dalam persembunyiannya, tak lama setelah peristiwa itu, Wis mengganti kartu identitasnya dengan mengganti namanya menjadi Saman.
Setelah kejadian itu, Saman menulis surat untuk ayahnya. Ia menyatakan bahwa ia menyesal karena tidak bisa memberi ayah keturunan karena dirinya menjadi seorang pastor. Ia bercerita tentang rumah asap yang dibangunnya dengan modal awal dari ayahnya, memohon restu kepada ayahnya untuk tetap tinggal di Prabumulih, dan ia memohon maaf karena dirinya memutuskan untuk keluar dari  kepastoran. Saman dan beberapa temannya ingin mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengurusi perkebunan guna membantu orang Lubukrantau yang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekerjaan. Akhirnya berkat bantuan Cok dan Yasmin, Saman dapat melarikan diri ke New York. Kini Saman telah mengganti penampilannya dan muncul sebagai aktivis perburuhan dan mengelola LSM.


Biorgafi Novelis

Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Ayu Utami merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Sutaryo dan Suhartinah yang berasal dari Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami bekerja sebagai jaksa, ia cukup ketat dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan bertanggung jawab. Dalam hal ini ia sangat perhitungan terhadap anak-anaknya. Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia akan meminta imbalan yang seimbang dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah, sebagai ibu Ayu Utami yang dulu pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah SMP adalah orang yang mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-anaknya bukanlah suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami bisa kecewa sekali melihat anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah sebaliknya ia selalu siap menghibur jika anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh orang tua Ayu Utami yang seperti inilah yang membuat Ayu Utami bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami menghabiskan masa kecil di Bogor hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan SMP di Jakarta, dan SMU di Tarakanita Jakarta (http://www.cyberman.cbn.net.id).
Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang tua yaitu dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya meremehkan orang dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Bagi  membaca buku bisa mempengaruhi hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu untuk membaca Alkitab. Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut Katolik yang mengagumi buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab adalah buku satu-satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab ditulis oleh orang banyak dengan gaya masing-masing. Ada yang bebentuk puisi, buku, dan surat menyurat. Wajarlah kalau dalam novel Saman, terdapat petikan-petikan ayat Alkitab (http://www.yoogee.com).
Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis beberapa cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota (http://cyberman.net.id). Namun, bukan berarti cita-cita Ayu Utami sejak kecil memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami mempunyai bakat melukis. Ia sering memperoleh order melukis dari teman atau keluarganya. Bahkan impian banyak pelukis pernah menghampirinya, yakni tawaran dari pembimbing melukisnya untuk mengadakan pameran tunggal. Itulah sebabnya, setelah lulus dari SMU Ayu Utami ingin melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu ditentang orang tua. Sebagai pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak ingin memberatkan orang tuanya, selai lebih murah dibandingkan dengan kuliah di luar negeri, selain itu juga semua kakaknya kuliah di UI (http://www.yoogee.com).
Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah. Kuliah ia jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada kuliah. Akan tetapi hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa tidak ada gunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah sambil bekerja yang dilakukan Ayu Utami juga mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya hal itu tidak bisa diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis Ayu Utami yang membuat ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang pernah ia jalani. Bahkan Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R (http://www.yoogee.com).
Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan berkembang. Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti pendidikan di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya dipecat dari majalah Forum. Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah D&R, karena namanya sudah masuk black list, tidak boleh lagi tercantum disusunan redaksional media massa manapun. Di majalah ini ia hanya menjadi kontributor. Saat itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk menjadi wartawan secara terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak keluarga sangat menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk menjadi aktivis niat utamnya adalah menjadi wartawan professional. Akan tetapi pada masa Orde Baru sekitar tahun 1993-1994, ia akhirnya terbawa arus menjadi aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers (http://www.cyberman.cbn.net.id).
Sewaktu menjadi aktivis, kedudukannya lebih sebagai kurir atau penghubung. Ia tersentuh sekali melihat teman-teman yang terlibat secara langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian menghindar dari kejaran polisi. Biasanya ia bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan, seperti mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan penampilannya ia bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga dengan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami cukup bersih dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak pernah tercium oleh pihak aparat (http:cyberman.cbn.net.id).
Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan berbagai kalangan yang dapat memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel Saman, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis moneter (http://www.yoogee.com).
Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya, ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salah novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara terbuka (http:cyberman.cbn.net.id).
Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah. Ayu Utami bukannya menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk merenungkan kembali isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi. (http://www.qlen.hlc. unimelb.edu.au).
Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita yang sangat realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi kekasihnya dan bergantung kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya memang harus berakhir, ia pun bisa melupakannya sama sekali. Inilah yang membuatnya tidak mengenal istilah patah hati dalam hidupnya. Sebab ia bisa berteman baik dengan mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta. Soal laki-laki, secara fisik Ayu Utami suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak. Entah kenapa seperti itu, sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal laki-laki ia suka yang military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik dengan laki-laki yang bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas teman ia senang sekali, tetapi bukan untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki yang military look kemungkinankarena citra laki-laki ganteng yang pertama kali ia lihat adalah Pierre Tendean, orang yang dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-orang sebaya Ayu Utami, doktrin mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat. Proses pembentukannya sepertinya didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti itu. Jadi, meskipun ketika beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci sekali dengan tentara, tetapi soal laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang bergaya militer (http:cyberman.cbn.net.id).
Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam buku Si Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun kita selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau tidak menikah perempuan akan diejek sebagai perawan tua, dan sebagainya. Yang pada akhirnya, membuat si perempuan menjadi berada di bawah tekanan. Ia ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan seks di luar pernikahan. Dalam hal ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita memang munafik. Mereka menganggap seolah-olah kalau sudah menikah itu segala sesuatu menjadi beres. Padahal, banyak sekali orang yang sudah menikah tetapi masih melakukan hubungan seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan (http:cyberman.cbn.net.id).
Keputusan Ayu Utami untuk tidak menikah membuat keluarga, terutama ibu sempat merasa sedih. Sampai sekarang Ibu Ayu Utami tetap berharap suatu saat akan menikah. Sebaliknya, di luar pikirannya, Bapak Ayu Utami malah menerima keputusan ini dengan enteng. Ayu Utami juga tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang ibu, menurutnya buat apa punya anak, penduduk Indonesia sekarang kan sudah padat sekali (http:cyberman.cbn.net.id).



1 komentar: