Senin, 24 Januari 2011

SEBUAH CERITA UNTUKMU, KO !!

Cinta telah tersimpan dalam penjagaan yang teramat rapi
Ia tau masa surutmu saat kau berada pada musim pasangmu
Ia dicari tidak sekedar bersama untuk membunuh waktumu
Ia ada untuk bersama menghidupkan sang waktu
Ia mengambil kesempatan untuk dipersilahkan
Ia tak pernah meminta untuk dikunjungi
Ia telah ada di setiap hati-hatimu


Riko duduk di sisi pembaringan sembari memegangi kepalanya yang terasa berat, sesekali desahan masih terdengar. Riko mendesah panjang, sambil mengepalkan tinjunya ke busa tempatnya berbaring, ia berusaha bangun. Masih saja begitu berat beban pikiran di benaknya.

"Kita harus mengakhirinya Ko, tak ada ikatan apapun dalam Islam antara seorang laki-laki dan wanita kecuali khitbah dan pernikahan, ini haram, Ko". Riko mendesis mengingat kata-kata Ajeng sore tadi, ada sesuatu menyayat ulu hatinya, perih. Dan ia tak habis mengerti perubahan jalan pikiran Ajeng akhir-akhir ini. Ah, putri keraton itu begitu mudahnya memutuskannya. Padahal, ia begitu menyayanginya dan tentu membanggakannya. Ya, bangga karena Ajeng adalah Sang Putri!!

Riko bangkit dari duduknya, dengan langkah lunglai ditariknya kursi lalu dihempaskan pantatnya. Ia menekuri meja, ditatapnya foto Ajeng yang ada di depannya, lantas dengan kasar disorongkannya ke sudut meja. Tangan Riko menarik album yang terselip di deretan buku, dengan tanpa gairah dibukanya album itu dan terhenti pada foto dirinya yang sedang berangkulan dengan Aditya. Hah, saudara sepupuku, teman semasa kecilku itu akan segera pulang, apa yang akan kukatakan padanya!? Batin Riko terus berkata.

Terbayang saat-saat yang dihabiskanya selama 21 tahun bersama Aditya sampai mereka memutuskan untuk berpisah, karena ia lebih memilih Yogya sebagai kelanjutan studinya. Berbeda halnya dengan Aditya yang menerima tawaran paman mereka untuk melanjutkan ke Belanda. Empat tahun mereka habiskan di jurusan bahasa dan sastra. Mereka memang sangat menyukai sastra. Hanya saja, Aditya lebih suka melanjutkan S2 Sastra di Leiden Universteit di Belanda, dan ia lebih suka melanjutkan ke UGM Jogja. Tentu, dua kota itu memiliki makna masing-masing yang akan mereka kejar di sana. Ya, 21 tahun bukan masa singkat untuk dilupakan, bahkan untuk satu hal yang tidak akan pernah terlupakan, sebuah janji terakhir ketika ia melepas kepergian sepupunya itu. Ah, janji itu!!

Sambil tetap melekatkan ke wajah mereka, Riko menarik sebatang rokok. Dengan gerakan malas ia berusaha menyalakannya, gagal, Riko kehilangan konsentrasi meski hanya untuk sekedar menyalakan rokok pun tak mampu. Setelah berulangkali batang korek api yang dinyalakan mati sebelum sempat membakar ujung rokoknya, Riko memukulkan kepalan tangannya dengan keras ke meja hingga barang-barang yang di atasnya bergetar dan foto Ajeng dalam bingkai yang berada di sudut jatuh dan pecah.

Riko menyengir memandangi foto orang yang sebenarnya dikaguminya itu tapi dengan seenaknya memberi keputusan sepihak di antara pecahan kaca. Hatinya kalut membayangkan kepulangan Aditya yang ditemani Sang Anelise sementara dirinya seorang diri menggigit bibir. Dengan sisa konsentrasinya Riko kembali menyalakan rokoknya, didekatkan ujung yang satunya ke mulut lalu dihembuskannya perlahan-lahan, ia berusaha mencari kenikmatan dari lintingan Riko tin itu. Tatapan Riko kembali ke album, dengan lebih teliti diamatinya wajah Aditya lalu wajahnya, ingatannya melayang ke percakapan mereka berdua sebelum Aditya terbang ke Belanda.

“Inilah saatnya kita cari gandengan Dit!"
"Betul, aku janji akan membawakan untukmu seorang calon ipar yang darahnya biru. Kau masih ingat bukan kisah cinta Minke-Anelise di Novel Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer. Novel yang ditugaskan Pak Ali untuk kita kaji waktu kita semester empat? Anelise yang melebihi kecantikan Ratu Wilhemia. Aku akan membawakannya untukmu Ko, sebagai iparmu” ucap Aditya dengan yakinnya.
"Dan yang jelas, kalo mau ketemu Eyang jalannya gak pake nunduk-nunduk, hhh,. Hhhhaa" lanjut Aditya.
"Oke, aku pegang janjimu. Haaa, haaha dan untuk calon iparku, kau harus bawa yang rambutnya kayak rambut jagung, kalo mau ketemu di pintu pagar sudah bilang hello.”
"Ya deh aku janji. Oh ya, seperti apakah calon iparku kelak my Bro, Riko Jayakusuma Hadiningrat?” Tanya Aditya sambil mendelik lucu.
“Aku kebalikan darimu saudaraku, Aditya Jayawinata Hadiningrat! Aku akan ke Jogja, aku akan menemukan putri keraton yang ayu lagi lembut, santun dan taat, haha” Jawab Riko tak mau kalah.
“Oke, aku akan meyakinkan eyang kakung Hadiningrat kalau aku bisa membawakannya menantu bule yang berdarah biru. Dan kau akan membawakannya menantu putri keraton yang anggun lagi lemah lembut, hmm.” Sahut Aditya.

Ada kerinduan menyeruak bila mengingat, bagaimana mereka saling meledek lalu tertawa bersama dan tiba-tiba wajah Riko bertambah sendu mengingat kesepakatan mereka untuk membawa pacarnya masing-masing dalam “Pertemuan Agung”. Keluarga besar Hadingrat sangat menantikan dua pemuda ini membawakan calonnya masing-masing. “Pertemuan Agung”!! begitu mereka mengistilahkan. Mereka juga sepakat untuk merekam cerita masing-masing dalam kaset. Riko memainkan kepulan asap rokoknya, dibayangkan hari-hari Aditya bersama Sang Anelise, serba menyenangkan. Riko geram membandingkan dengan nasibnya. Jangankan putri keraton yang anggun lagi lembut, putri dari kalangan biasa pun ia tak bisa membawakannnya pada “pertemuan agung” itu.
"Sebenarnya aku kangen sekali, Dit". Riko mendesah sebuah perasaan merasa terkalahkan menghalanginya untuk bergegas menyambut kedatangan Aditya di bandara.

Riko mematikan mesin mobilnya, dengan gontai ia melangkah keluar, Riko berdiri tegak mengamati rumah berlantai dua yang berdiri megah di depannya, terlalu banyak kenangan bersama Aditya bahkan sejak mereka berdua masih dalam perut. Bayangan keberadaan Sang Anelise yang jelita seperti yang digambarkan Pram pada Novel Bumi Manusia itu sedang berjalan nan anggun di sisi Aditya dan tidak adanya Ajeng membimbingkannya untuk segera masuk. Tapi segera disadarinya jika saudara sepupu tak mesti harus bernasib sama, dilangkahkan juga kakinya memasuki rumah dengan lewat tangga samping langsung menuju kamarnya yang juga kamar Aditya. Sepi, mungkin Aditya dan Sang Anelise baru ngobrol dengan ibunya di bawah, pikirnya. Ketika mata Riko menangkap kaset yang tergeletak di meja dan ia yakin pasti itu rekaman Aditya , segara disambarnya dan langsung mendekati tape. Sejenak setelah jari Riko menekan tombol Play ....

"Assalamu'alaikum Riko, aku kangen sekali padamu. Maaf Ko, aku tak bisa mengajak Karren seperti janjiku, ini janji yang satunya, dengar yaa... serius nih. Riko, Belanda memang dengan suka cita memberikan apa yang kebanyakan diimpikan anak muda, kebebasan, hura-hura dan kesenangan-kesenangan dunia yang lainnya yang memabukkan, di hampir setiap sudutnya justru ditawarkan dengan yang menggiurkan. Iya, sastra yang kita geluti bertahun-tahun begitu berkembang na indah di sini. Tapi Riko, kamu setuju bukan, sebenarnya kebebasan, hura-hura juga surga-surga dunia tak pernah bisa memberikan apa yang sesungguhnya didambakan setiap orang yaitu sejatinya kebahagian. Aku yakin semua orang yang telah mencoba menikmati segala kebebasan itupun mengakui jika mereka mau jujur pada suara hatinya yang paling dalam. Riko, jika bukan karena Islam, kemungkinan besar aku ini telah berubah menjadi binatang di sana. Hidup mematuhi nafsunya tanpa mengenal batasan dan tak lagi kenal apa itu haram. Riko , segala puji hak Allah semata, yang telah mempertemukan dengan Mas Arifin, orang Bandung yang baru mengambil S3 di sana. Lewat beliau aku mengkaji Al-Qur'an dan lewat beliau Allah berkenan membukakan hatiku untuk mengenali Islam yang sesungguhnya, Islam sebagai sistem juga sebagai jalan hidup. Riko, aku mengenal dan pernah mencintai Sang Anelise yang dulu kita ceritakan itu, tentu namanya bukan Anelise, ia bernama Karren. Tapi, sejak mengenal Islam, otomatis hubunganku dengan Karren berakhir, padahal aku begitu menunggu waktu pertemuan denganmu dimana aku bisa membanggakan Karren yang cantik, cerdas dan supel. Keputusan harus kuambil, meski sangat berat karena tangan-tangan nafsu begitu kuat mencengkramku, tapi seberat apapun bukankah aku harus memenangkan aturan agamaku, aturan Allah. Jangankan pacaran yang memungkinkan berduan dan macam-macam, menurutkan pandangan saja tetap diharamkan. Bukankah ketaatan yang harus kita tunjukkan sebagai bukti dari pengakuan kita adalah muslim. Meski akal kita belum menerimanya, tidak tahu apa manfaatnya karena ilmu kita tak lebih dari setetes air dari ujung jari yang dicelupkan ke luasnya samudra tak bertepi bila dibanding dengan kemahatahuan Allah. Kenapa kita sering merasa sok tahu, dengan memberi argumen-argumen yang didasarkan nafsu. Riko , setelah aku mendapat gambaran yang jelas tentang Islam, aku bertekad untuk senantiasa hidup bersamanya, berusaha memberikan apa yang kubisa untuk membelanya dan memimpikan kejayannya. Dengan itu mulai kurasakan artinya hidup dan ternyata di situlah aku menemukan ketentraman dan sejatinya kebahagiaan. Riko , Dalam setiap doaku aku selalu memohon, kamu pun ..... “
Riko segera menekan tombol stop, rasanya tak sanggup lagi ia mendengar suara Aditya yang setiap kalimat seakan menelanjanginya. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. Di tengah berbagai kenikmatan dunia menyesatkan yang ditawarkan oleh pesatnya laju kemajuan zaman, Aditya bisa menemukan jalan mana yang benar-benar bisa menyelamatkan dan mengantarkan ke surga yang sesungguhnya, sementara dirinya dibingungkan oleh kemajuan jaman yang tak dipahaminya, tak tahu arus akan mengantarkanya ke mana. Riko meraba pipinya, jemarinya menemukan air yang mengalir dari sudut matanya. Rasanya Riko terhempas membandingkan apa yang ada di kepalanya dan yang di kepala Aditya . Selama ini hidup yang dijalaninya sangatlah remeh, tak punya muatan apa-apa. Sesuatu yang ada diotaknya hanya apa yang akan menyenangkan nafsunya. Rasa rindunya pada Aditya tiba-tiba tak terbendung. Seketika Riko berbalik ketika terdengar salam dan ia yakin siapa yang mengucapkannya.

"Aaa…dityaaa!!!” pekiknya terbata-bata, seakan tak percaya menyaksikan Aditya sudah berdiri di ambang pintu kamarnya, dengan wajah bersih mencerminkan ketenangan dan sorot mata penuh wibawa. Dijawabnya salam dengan suara yang hampir tak terdengar. Keduanya masih terpaku di tempat masing-masing, namun hanya beberapa detik.

"Riko " Aditya berjalan sambil membentangkan tangannya. Tak sesaatpun Riko menunggu, ia langsung menghambur ke arah Aditya . Segenap perasaan yang menggedor-gedor jiwanya ditumpahkan dalam pelukan saudara sepupunya itu. Ada isak tertahan.

"Dit, maukah kau mengenalkanku pada Islam yang sebenarnya?" Ucap Riko terbata setelah mereka mengurai rangkulan masing-masing, Aditya tak menjawab, namun di rangkulnya kembali saudara kembarnya dengan lebih erat lagi. Untuk sesuatu yang tak ternilai harganya .....hidayah