Minggu, 17 April 2011

“AKAR DAN KEHIDUPAN”

Suatu ketika, seorang anak duduk duduk sendiri merenung dan murung. Tampak masghul dengan wajah tercenung. Sang ayah mendekatinya. Sembari menyentuh dagu si anak, sang ayah menatapnya dengan tersenyum. Penuh bijak dan lembut berkata, “ada apakah gerangan yang terjadi denganmu wahai anakku?”

Si anak masih terdiam. Mata beningnya memancarkan sebuah Tanya. Kini ia menatap sang ayah dan berkata, “Ayah, sampaikan kepadaku tentang makna hidup?”

Ayahnya yang bijak menjawab, “Anakku, Hidup juga adalah amanah, setiap amanah akan dipertanggungjawabkan, pertanggungjawaban terberat adalah di hadapan-Nya kelak. Hidup itu seperti sebuah perjalanan. Setiap peristiwa di jagad raya ini adalah potongan-potongna mozaik, terserakan di sana-sini. Itu tersebar dalam tersebar dalam rentan waktu dan rang-ruang namun perlahan-lahan ia akan membentuk sosok seperti montase antoni gaudi mozaik-mozaik itu akn membangun , siapa engkau dewasa nanti, lalu apa yang kau kerjakan dalam hidup ini akn bergema dalam keabadian. Maka berkelanalah di muka bumi ini dengan mozaikmu. Itu akan menjadi bekalmu kelak ketika kau menghadap-Nya.”

“Ada apakah engkau menanyakan ini, duhai anakku” Tanya Sang Ayah.

Si anak kini tampak lebih cerah matanya. Tampak ia mulai memperlihatkan keberaniannya untuk menyampaikan maksud di hatinya yang sebenarnya.

“Ayah, tampak berat memang perjalanan hidup itu. mozaik-mozaik itu tampak sangat berserakan dan membuatku terbentur pada langkah-langkah untuk mengumpulkannya. Ayah, salah satu dari mozaik itu adalah kisahku ini. Hari ini adalah pemilihan ketua kelas. Dan, ketua tersebut adalah teman baikki. Tahukan Ayah, bagaimana aku sangat kecewa dengan keputusan kelasku, guruku dan teman-temanku, bahkan mungkin sahabat baikku itu. Tahukah ayah, selama ini aku telah berbuat baik kepada mereka, bahkan aku sangat mengutamakan mereka dibandingkan diriku sendiri. Aku pikir, ketika aku berbuat baik dan mengutamakan mereka, aku akan dipercayakan oleh mereka. Tapi, ternyata tidak. DUhai Ayah, ceritakan kepadaku tentang keikhlasan?”


“Anakku, mari belajar dari akar. Ia tidak terlihat, tapi ia sangat menopang kehidupan. Maka, jadilah akar yang gigih mencari air, menembus tanah yang keras demi sebatang pohon. Ketika pohon itu tumbuh, memiliki daun rimbun, berbunga indah, menampilkan eloknya di dunia dan menghadirkan banyak pujian untuk pohon tadi. Apakah akar merasa iri? Ia tetap tersembunyi di dalam tanah. Betapa bijak akar, ia tetap ikhlas dan tidak mengharapkan untuk terlihat. “ jawab Sang Ayah.

“Namun Ayah, apakah keikhlasan itu bisa mewujudkan sebntuk cinta dari orang-orang kepadaku?” Tanya Anang kembali.

Kini Sang Ayah tersenyum, semabari mengelus rambut Sang Anak, ia berkata, “Anakku, belahan jiwaku. Ayah pernah berkata kepadamu tentang Filsuf yang bernama Plato. Ia pernah berkata, Jika engkau ingin mengetahui derajatmu di tengah masyarakat, maka perhatikanlah orang yang engkau cintai tanpa alasan. Anakku, seperti itulah kita belajar tentang keikhlasan. Ketika engkau mencintai orang-orang di sekitarmu tanpa alas an, tanpa syarat. Ketika engkau bertanya, mengapa engkau mencintai mereka? Engkau tidak bisa menjawabnya.”
Subhanallah, semoga kita bisa belajar dari kisah ini. Belajar bersama tentunya. Semoga bermanfaat.