Kamis, 20 Januari 2011

EKSISTENSI PEREMPUAN DAN KONSTRUKSI BUDAYA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: KAJIAN SASTRA FEMINIS




KATA PENGANTAR


Segala puji hanya tercurahkan kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan begitu banyak limpahan nikmat sehingga penulis dapat penelitian  ini secara maksimal dan optimal. Shalawat dan salam semoga senantiasa tersampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhamad SAW yang telah begitu banyak mengajarkan kebijakan dan menyebarkan ilmunya pada semua umatnya.
          Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari    yang mengisahkan tentang sosok  Srintil  yang membawakan perannya sebagai seorang ronggeng. Sebagai bagian dari seni, ronggeng tak hanya menarik dibahas dalam tataran musik atau tari saja, namun juga dapat dibahas secara mendalam terkait peran tokoh yang berada di dalamnya. Untuk mengkaji kisah ini salah satunya adalah dengan melalui kajian feminis. Srintil  yang berperan begitu menawan telah menghidangkan sebuah eksistensi seorang perempuan dalam memilih cinta yang dikehendakinya, meskipun pada dasarnya ia sebagai ronggeng adalah “milik umum”. Lebih lanjut, Srintil  juga membawa sebuah perubahan baru dalam tradisi ronggeng. Tradisi bukak-klambu  sebagai sebuah ritual untuk menjadi seorang ronggeng, telah diubahnya menjadi konstruksi  baru bahwa sosok ronggeng juga boleh memilih siapa yang ia kehendaki, meskipun itu terselubung.
            Tak ada gading yang tak retak dan tak ada manusia yang sempurna. Demikian pula dalam penulisan tugas ini  boleh jadi memiliki banyak kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakannya agar lebih optimal dan maksimal. Akhirnya, penulis berharap penelitian yang teramat singkat ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca, khusunya dalam pengajaran bidang studi Pendidikan Bahasa dan Sastra di dunia pendidikan dan umumnya pada pengembangan ilmu pengetahuan. 







I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra  tetap menjadi bagian penting dalam hidup manusia, sastra sangat indah untuk dibahas. Sastra hidup tidak akan jauh dari manusia, sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinya ke dalam karya sastra. Dapat disimpulkan bahwa sastra sendiri adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993:8).
Ditinjau dari segi penciptanya (pengarang dalam sastra tulis dan pawang atau pelipur lara dalam sastra lisan), karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya (Zulfahnur dkk 1996: 254). Dikatakan oleh Abrams (dalam Pradopo 1995: 254) bahwa karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Sastra dapat dibahas berdasarkan dua hal, yaitu bentuk dan isi. Ditinjau dari bentuk, sastra adalah karangan fiksi dan non fiksi. Apabila dikaji melalui bentuk atau cara pengungkapannya, sastra dapat dianalisis melalui genre sastra itu sendiri, yaitu puisi, novel, dan drama. Karya sastra juga digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini adalah salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi. Menurut Semi (1993:8), karya sastra adalah karya kreatif sehingga sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Dari segi isi, sastra membahas tentang hal yang terkandung di dalamnya, sedangkan bentuk sastra membahas cara penyampaiannya.
Selain itu, sastra juga harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia.  Seni sastra adalah pengalaman hidup manusia terutama menyangkut sosial budaya, kesenian, dan sistem berpikir. Karya sastra menjadi gambaran kehidupan hasil rekaan seseorang yang sering kali karya sastra itu menghadirkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap latar belakang dan keyakinan pengarang. Salah satu bentuk karya sastra yang dapat diteliti terkait gaya bahasa yang adalah hasil pemikiran yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah Novel. Novel sebagai karya sastra tulis adalah  tempat penuangan renungan pengarang terhadap kehidupan karena bahasanya yang diambil dari kehidupan pengarang maupun pengalaman orang lain yang sampai kepada pengarang (Mukmin, 2005:8).
Hal inilah yang menjadikan novel sangat terkait dengan kehidupannya. Seperti halnya kehidupan yang diceritakan dalam novel yang juga berhubungan dengan masalah kehidupan seperti tingkah laku, sikap, dan etika pergaulan  yang ditampilkan melalui gaya bahasa yang disampaikan oleh pengarang. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa  Karya  sastra merupakan sebuah struktur yang tidak statis, melahirkan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung dan dihayati oleh masyarakat (Goldman dalam Faruk, 1994:12).
Lebih lanjut,  novel  tentu tidak hanya berfungsi untuk menghibur, tetapi juga dianggap dapat memberikan manfaat berupa suatu ajaran yang baik bagi  maasyarakat. Seperti halnya sebuah karya sastra, termasuk novel hendaknya memiliki manfaat, minimal bagi pembacanya. Sastra tidak hanya berfungsi untuk menghibur, tetapi juga sekaligus mengajarkan sesuatu (Wellek dan Warren, 1989:24—25)
Novel yang dipilih dalam penelitian ini adalah Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari. Novel ini seperti halnya novel-novel lainnya  sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan.
Perkembangan novel di Indonesia cukup pesat. Hal itu terbukti dengan banyaknya novel-novel baru yang telah diterbitkan. Novel-novel tersebut mempunyai bermacam tema dan isi, antara lain tentang masalah-masalah sosial yang pada umumnya terjadi dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan perempuan. Sosok perempuan sangat menarik untuk dibicarakan. Perempuan di wilayah publik cenderung dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk memuaskan koloninya. Perempuan telah menjelma menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks. Dengan kata lain, saat ini telah hilang sifat feminis yang dibanggakan dan disanjung bukan saja oleh kaum perempuan, namun juga kaum laki-laki. Tentu, hal ini sangat menyakitkan apabila perempuan hanya menjadi satu segmen bisnis atau pasar (Anshori, 1997:2).
Terkait pengarang, Ahmad Tohari   membahasakan dengan begitu menarik dan santun dalam  novel ini. Pembaca dihadapkan pada sebuah keadaan sosial yang begitu berbeda dengan keadaan sosial pada umumnya, sebuah potret kemiskinan dan kebodohan suatu komunitas. Namun, sisi menarik yang kemudian menjadi hiasan indah dalam novel ini adalah kemunculan tokoh Srintil  yang digambarkan sebagai sosok perempuan  yang  memberikan sebuah pencerahan dan  dibahasakn oleh pengarang  kepada pembaca tentang eksistensinya sebagai seorang manusia dengan segala hak-haknya dalam masyarakat.  Srintil  yang diceritakan sebagai sosok ronggeng, yang identik dengan sebuah pandangan dalam masyarakat bahwa perempuan  dijadikan sebagai objek seksual oleh laki-laki tanpa dapat memberikan perlawanan sehingga menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
Dalam kajian  ini, peneliti menggunakan kajian sastra feminis, dengan mempertimbangkan segi-segi feminisme (Djajanegara, 2000:27). Inovasi baru yang menjadi pendorong dalam penelitian ini adalah kajian kritis dengan menggunakan feminisme diharapakan dapat memberikan manfaat dalam dunia kesusasteraam.  Dengan demikian, hal  yang menjadi tujuan utama adalah  upaya agar analisis yang lebih jauh tentang kajian feminisme khususnya pada  novel  Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari   dapat diketahui dan dipahami  lebih mendalam.

I.2 Permasalahan
Permasalahan yang dibahas dalam Penelitian  ini adalah  bagaimana  eksisitensi perempuan dan konstruksi budaya yang terdapat dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari   terutama pada tokoh Srintil  yang ada dalam novel tersebut, ditinjau dari aspek sastra feminis, sekaligus sebelumnya diadakan kajian struktural singkat pada novel ini.

I.3 Landasan Teori
1.3.1 Kajian   Struktural
Kajian  struktural sangat penting dalam analisis karya sastra karena di dalamnya suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Tanpa analisis struktural tersebut kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat diketahui. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw dalam Sugihastuti, 2002:44).
Analisis struktural adalah bagian prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Teeuw (1984: 135) mengatakan analisis strukturalisme bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, sedetail mungkin, dengan keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama – sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur – unsur yang membangun, yang penting justru sumbangan yang diberikan unsur – unsur tersebut pada keseluruhan makna (makna totalitas) dalam keterkaitan dan keterjalinan.
Secara praktis, strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur karya sastra, terutama prosa di antaranya adalah tema peristiwa atau kejadian, latar, penokohan atau perwatakan,  alur, dan sudut pandang (Ratna, 2007: 93).  Satu konsep yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam diri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom, yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang saling berjalinan (Pradopo dalam Jabrohim, 2001: 55). Sedangkan Stanton (2007: 22—71) menyebutkan unsur novel terdiri atas fakta-fakta cerita, alur, karakter, latar, tema, sarana-sarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi.
Selanjutnya, menurut Nurgiyantoro (1995:36), melalui pendekatan struktural dapat dilakukan dengan menggunakan  langkah-langkah berikut.
1)      Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra secara lengkap dan jelas, nama tema, dan nama tokohnya.
2)      Mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui bagaimana tema, alur, dan latar dari sebuah karya sastra.
3)      Mengidentifikasikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui fungsi alur, latar, dan penokohan dari sebuah karya sastra.
4)      Menghubungkan masing-masing unsur sehingga diketahui tema, alur, latar, penokohan dalam sebuah karya sastra.

Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu dari karya fiksi, misal peristiwa, alur, latar, tokoh dan lain sebagainya. Sebagai salah satu bagian terpenting dalam sebuah pendekatan dalam karya sastra, analisis strukturalisme sangat berpengaruh dalam analisis selanjutnya. Akan tetapi, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetika dan seluruh makna yang ingin dicapai. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan salah satu kajian yang membedakan antara karya sastra satu dengan karya sastra yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa analisis struktural adalah analisis mengenai karya sastra itu sendiri tanpa melihat kaitannya dengan data di luar karya sastra tersebut. Pada taraf ini belum sampai pada pertimbangan berdasarkan hal-hal di luar karya sastra. Hal ini diungkapkan Atmazaki (1990:57), bahwa teori sastra struktural melepaskan kaitan karya sastra dengan aspek ekstrinsik.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis struktural berusaha memaparkan dan menunjukkan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra serta menjelaskan interaksi antar unsur-unsur dalam membentuk makna yang utuh. Analisis yang tampak menghiraukan hubungan antar unsur-unsur intrinsik kurang berfungsi tanpa adanya interaksi tersebut. Analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan.

1.3.2 Kajian Sastra Feminis
1.3.2.1  Teori Sastra Feminis
Kajian sastra feminis adalah salah satu disiplin ilmu sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kajian  sastra feminisme adalah aliran baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat lakilaki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan, maka muncullah istilah equal right's movement atau gerakan persamaan hak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women's liberation movement, disingkat women's lib atau women's emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan perempuan (Saraswati, 2003:156).
Kajian sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis perempuan di masa silam dan untuk menunjukkan citra perempuan dalam karya penulis-penulis laki-laki yang menampilkan perempuan sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan (Djajanegara, 2000:27). Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai ragam cara mengkajian yang kadang-kadang berpadu. Misalnya, dalam meneliti citra perempuan dalam karya sastra penulis perempuan, perhatian dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang diderita tokoh perempuan. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarkal, mungkin saja seorang penulis perempuan menciptakan tokoh-tokoh perempuan dengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patiarkal. Sebaliknya, kajian tentang perempuan dalam tulisan laki-laki dapat saja menunjukkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminis. Di samping itu, kedua hasrat pengkajian sastra feminis memiliki kesamaan dalam hal kanon sastra. Kedua-duanya menyangsikan keabsahan kanon sastra lama, bukan saja karena menyajikan tokoh-tokoh perempuan stereotip dan menunjukkan rasa benci dan curiga terhadap perempuan, tetapi juga karena diabaikannya tulisan-tulisan mereka.
Kajian sastra feminis mempunyai dua fokus. Pertama, menggali, mengkaji serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam. Hal yang dipertanyakan adalah tolok ukur apa saja yang dipakai pengkajian sastra terdahulu sehingga kanon sastra didominasi penulis laki-laki. Tujuan kedua mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis. Ketiga, pengkajian sastra feminis terutama berhasrat mengetahui bagaimana cara menerapkan penilaian estetik, di mana letak nilai estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan cara-cara penilaian lama. Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikehendaki pengkajian sastra feminis adalah hak yang sama untuk mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama.
Pendekatan feminisme mengkaji khusus terhadap karya sastra dengan fokus perhatian pada relasi Gender yang timpang dan mempromosikan pada tataran yang seimbang antar laki-laki dan perempuan (Djajanegara, 2000:27). Feminisme adalah pemberontakan kaum perempuan kepada laki-laki, upaya melawan pranata sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2000:5).
Feminisme muncul akibat dari adanya prasangka Gender yang menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria sosial budaya. Asumsi tersebut membuat kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki. Lebih khusus, Teeuw (dalam Ratna, 2007:183—184), ada beberapa hal yang memicu lahirnya feminism antara lain:
1)      berkembangnya teknik kontrasepsi
2)      radikalisme politik
3)      lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional
4)      sekularisasi
5)      perkembangan pendidikan
6)      rekaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial
7)      ketidakpuasan terhadap ideologi  Marxis orthodox

Selanjutnya, Kajian sastra feminis terbagi dalam berbagai macam. Jenis-jenis kajian sastra feminis yang berkembang di masyarakat adalah :
1)       Kajian Ideologis
Kajian sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang perempuan dalam karya sastra. Kajian ini juga meneliti kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkannya diabaikan.

2)      Kajian feminis lesbian
Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Ragam kajian ini masih sangat terbatas karena beberapa kajian, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal perempuan yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kajian sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkajian sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya.

3)      Kajian sastra feminis sosialis
Kajian ini meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkajian feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan adalah kelas masyarakat yang tertindas.

4)      Kajian sastra feminis-psikoanalistik
Kajian ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan, sedang tokoh perempuan tersebut pada umumnya adalah cermin penciptanya.

5)      Kajian feminis ras atau etnik
Kajian feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian perempuan maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis. Kajian ini beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum perempuan yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati, 2003:156).

6)      Kajian yang mengkaji penulis-penulis perempuan
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan.

1.3.2.2 Konsep Feminisme pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Feminisme selalu terkait dengan perempuan. Bahkan, untuk mengkajinya pun seorang pembaca harus mengubah pola bacaan menjadi reading by women.  Konsep feminis yang identik pada “pembelaan” terhadap perempuan tidak sekedar pada penyetaraan gender, namun lebih dari pada itu. Demikian halnya konsep feminis yang diharapkan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk ini. Dewasa ini, dalam dunia masyarakat pria, proses mengamati lawan jenis selalu dihubungkan dengan estetika fisik demi melayani nafsu dan rasa ingin tahu. Ini merupakan salah satu perilaku andrticentric “berpusat pada pria” (andro dalam bahasa Yunani berarti pria) atau Phallocentric (pallus merupakan penanda jenis kelamin pria). Dalam masyarakat pria phallocentric, memiliki phallus berarti memiliki kekuasaan dengan kata lain, sistem itu memungkinkan pria menguasai wanita dalam semua bentuk hubungan sosial. Dalam paradigma feminis, situasi seperti itu diekspresikan dengan istilah patriarki. Patriarki merupakan penyebab utama munculnya fenomena-fenomena penindasan hak wanita oleh kaum pria. Konsep ini memandang wanita sebagai kelas kedua setelah laki-laki sehingga muncul dominasi pria atas wanita. Akibat kekuasaan patriarki termanifestasikan dengan apa yang disebut seksisme (dasar ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki superior dan economic privilege (Fakih 1996: 86).
 Lagi-lagi, jika pembahasannya tentang gender, tema umum yang biasanya diangkat adalah kesetaraan. Secara umum, wajar jika  antara lelaki dan perempuan berbeda, namun perbedaan ini tentu bukan berarti membedakan juga hak-hak antara keduanya.  Menurut Fakih (2003: 12) sesungguhnya perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana  salah satunya menjadi korban dari sistem tersebut.
Sebagian feminis mengakui bahwa jika cita-cita feminisme untuk mencapai keadilan dan kesetaraan tanpa memperhitungkan jenis kelamin berhasil, maka perhatian pada masalah-masalah perempuan tidak relevan lagi. Karena bagaimanapun juga bahwa ketidakadilan gender merupakan konstruksi sosial di masyarakat yang pendukungnya bisa laki-laki maupun perempuan.  Bahkan, jika ditinjau dari segi  politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini.
Tokoh Srintil  secara tidak langsung menjadi bagian dari konsep feminisme ini. Srintil  yang mampu mengejar haknya, bahkan tetap mengejar haknya sesuai dengan keinginan membawa sebuah pencerahan baru bahwa ia mampu membuktikan eksistensinya sebagai perempuan yang juga dipandang setara dengan laki-laki. Lebih lanjut, Srintil  telah membawa sebuah konstruksi  baru dalam budaya ronggeng, terutama dalam tradisi Bukak-Klambu yang telah jelas-jelas diubahnya menjadi kebebasan untuk ‘memilih” lelaki yang diinginkannya, tentu ini adalah sebuah konstruksi baru dalam budaya ronggeng.

I.4 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari    adalah deskriptif kualitatif.  Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sisitematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fernomena yang diselidiki (Nazir, 1988:63). Analisis secara kualitatif difokuskan pada penunjukkan makna, penelitian, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata (Mahsun, 2007:257).
Pengkajian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu atau kelompok), keadaan fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi (Sutopo, 2002:8—10). Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya. Dalam penelitian ini penulis mengungkapkan data-data yang berupa kata, frase, dan kalimat yang ada dalam novel Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari. Permasalahan-permasalahannya dianalisis dengan menggunakan teori feminisme.

1.4.1 Objek Penelitian
Objek Penelitian dalam sastra sangat berperen menentukan focus penelitian. Menurut Sangidu (2004 : 6), objek penelitian sastra adalah pokok atau topik penelitian dapat berupa individu, benda, bahasa, karya sastra, budaya, perilaku dan sebagainya. Objek dalam penelitian ini adalah Feminisme yang ditunjukkan oleh Srintil  dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari   ditinjau dari eksisitesninya sebagai perempuan sekaligus upayanya dalam mendobrak konstruksi budaya.

1.4.2  Data dan  Sumber Data
1) Data
Data dalam penelitian ini yaitu data kualitatif. Data kualitatif berupa kata – kata atau gambar bukan angka –angka (Aminnudin, 1990 : 16). Berdasarkan pernyataan tersebut data penelitian ini adalah kata, ungkapan, frase, kalimat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari   yang diklasifikasikan sesuai dengan analisis yang dikaji yaitu eksistensi perempuan yang ditunjukkan oleh tokoh serta upayanya dalam mendobrak suatu konstruksi yang terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

2) Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan adalah Novel  Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari    yang diterbitkan oleh PT. Gramedia cetakan ketiga tahun 2007.

1.4.3  Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi pustaka. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan teknik catat (Subroto dalam Imron, 2003). Teknik simak adalah dengan membaca karya sastra tersebut kemudian dianalisis. Sedangkan teknik catat adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat dalam sebuah karya sastra tersebut kemudian ditulis dalam bentuk catatan. Data yang berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap penelitian harus memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperoleh. Pengumpulan data dengan benar-benar diperlukan oleh peneliti (Sutopo, 2002:78). Sumber-sumber tertulis yang digunakan dipilih sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian sastra, dalam hal ini ditinjau dari segi sastra feminis. Teknik simak dan catat adalah instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber  data   yaitu karya sastra sebagai sasaran penelitian yang berupa teks novel Ronggeng Dukuh Paruk   untuk memperoleh data yang diinginkan.
Teknik yang dilakukan setelah mengadakan pengumpulan data adalah analisis data. Analisis data adalah faktor yang penting dalam menentukan kualitas dari hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif pula. Menurut Sutopo (2002:95), analisis kualitatif dapat digolongkan ke dalam metode deskriptif yang penerapannya bersifat menuturkan, memaparkan, memberikan, menganalisis, dan menafsirkan.
Sebagai kajian struktural  Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffatere dalam Imron, 1995: 42). Pada tahap ini, pembaca menemukan arti (meaning) secara linguistik (Abdullah dalam Imron, 1995: 43). Realisasi dari pembacaan heuristik ini dapat berupa sinopsis (Riffaterre dalam Imron, 1995: 43). Dengan mempergunakan teknik pembacaan heuristik, pembaca melakukan interpretasi secara referensial melalui tanda linguistik. Dalam tahap ini pembaca mampu memberi arti bentuk linguistik yang mungkin saja tidak gramatikal. Pembacaan ini berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, dalam arti bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal yang lainnya.
Selanjutnya teknik pembacaan hermeneutika  yang pada dasarnya suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlukan sebagai teks tersebut untuk mencari arti dan maknanya. Metode ini mengisyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan keadaan masa lampau yang tidak dialaminya dan kemudian dibawa pada keadaan masasekarang. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika  tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami kandungan makna literal. Akan tetapi lebih dari itu, hermeneutika  berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud dalam hal ini adalah horison teks maupun horizon pengarang. Oleh karena itu, diharapkan adanya suatu upaya pemahaman atau penafsiran yang menjadi kegiatan rekonstruksi  dan reproduksi makna teks.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika  memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks,kemudian melakukan upaya kontekstual (Fais, 2002: 11—12). Hubungan antara heuristik dan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan kerja hermeneutik yang oleh Riffaterre juga sebagai pembaca retroaktif yang memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 1995: 35).  Terkait novel Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari, dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik nantinya dapat menghidupkan dan mengkonstruksikan sebuah teks dalam jaringan interaksi antara pembicara, pendengar, dan kondisi batin serta sosial yang melingkupinya agar sebuah pertanyaan tidak mengalami alienasi dan menyesatkan pembaca.


II. GAMBARAN UMUM



            Novel   Ronggeng Dukuh Paruk  menyoroti masalah kehidupan masyarakat dalam sebuah padukuhan yang terpencil. Kisah pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari     sangat berhubungan dengan masyarakat dan kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya.  Kondisi yang diceritakan adalah sebuah dukuh yang begitu miskinnya, dengan keadaan kemarau yang sedemikian parahnya. beriku kutipannya.
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadipadang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.
Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.
Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.
Udara panas berbulan-bulan mengeringkan berjenis biji-bijian. Buah randu telah menghitam kulitnya, pecah menjadi tiga juring. Bersama tiupan angin terburai gumpalan-gumpalan kapuk. Setiap gumpal kapuk mengandung biji masak yang siap tumbuh pada tempat ia hinggap di bumi. Demikian kearifan alam mengatur agar pohon randu baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya. (Ronggeng Dukuh Paruk: 2).

Selanjutnya, selain dari segi fisik, novel ini juga menggambarkan keterbelakangan masyarakat Dukuh Paruk. Keterbelakangan ini semakin memperkuat tentang kebodohan mereka dalam menghadapi sesuatu yang jika dikaitkan dengan masyarakat pada umumnya adalah sesuatu hal yang masih bisa diubah menjadi lebih baik. Kebodohan ini misalnya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari seperti dalam rumah tangga, sebut saja dalam hal makanan dan kesehatan. Mereka masih begitu bodoh dalam memaknai sesuatu padahal sudah jelas bahwa pemaknaan itu keliru. Misalnya pada kutipan berikut.
Kebodohan memang pusaka khas Dukuh Paruk. Namun setidaknya orang-orang disana bisa berfikir mencari sebab malapateka hari itu. Tidak semua warga Dukuh Paruk pusing, muntah lalu terkulai.Ada sementara mereka yang tetap segar. Dan mereka adalah orang-orang yang tidak makantempe bongkrek buatan Santayib (Ronggeng Dukuh Paruk : 17).


Pengarang menggambarkan Dukuh Paruk dengan masyarakat yang serba kekurangan dan miskin. Sebagian masyarakat di sana hanya menggandalkan menggiringi ronggeng baru bisa makan layak.  Suami-istri Santayib berjualan tempe bongkrek setiap hari untuk memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk. Mereka hanya bisa berjualan karena keadaan ekonomi. Santayib tidur paling terakhir setiap malam untuk menyiapkan dagangan esok hari. Hal ini menunjukkan bahwa betapa miskinnya kehidupan pada masyarakat Dukuh Paruk.

“......Semua penghuni pedukuhan itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, Ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam itu. Bungkil ampas minyak kelapa yang telah ditumbuk halus dalam air.....Besok hari pada bungkil ampas minyak kelpa itu akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe bongkrek. Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk akan tempe itu.” (Ronggeng Dukuh Paruk:21)

Kondisi Dukuh Paruk yang sedemikian penuh dengan  kemiskinan itu pun hingga masa-masa selanjutnya dalam cerita masih tidak berubah. Kemiskinan yang juga diikuti dengan kebodohan yang seakan-akan tidak dapat terlepas dari masyarakat dukuh paruk. Berikut kutipannya.

Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit serta sumpah-serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekali pun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam (Ronggeng Dukuh Paruk: 98).

   Selain tentang potret keterbelakangan pemikiran warga Dukuh Paruk, novel ini juga menceritakan tentang sebuah mitos yang begitu dipercayai tentang nenek moyang mereka. Mitos inilah yang menjadai pedoman dalam kehidupan penduduk di dukuh Paruk.  Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya.
Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat (Ronggeng Dukuh Paruk: 3).

Sistem kepercayaan itu juga menjadi bumbu-bumbu pada kehidupan yang lain. Konsep utama yang menjadi kajian dalam novel ini adalah tentang ronggeng, juga dibumbui mitos-mitos yang menjadi penunjang terbentuk dan berkemabnagnya ronggeng ini. Misalnya tentang kepercayaan pada sosok rpnggeng yang sebenarnya bukan  berasal dari keturunan ataupun dari proses belajar, melainkan memang sudah ada pada jiwa si calon ronggeng tersebut.   Hal ini dapat dilihat seperti pada kutipan berikut.

Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan. (Ronggeng Dukuh Paruk: 6).

Pembentukan seorang gadis hingga ia menjadi seorang ronggeng juga penuh dengan intrik-intrik mitos yang turut mengantarkannya hingga menjadi seorang ronggeng professional. Lagi-lagi, inilah yang dipercayai oleh masyarakat Dukuh Paruk yang membentuk sebuah realita tentang ronggeng yang jelas berbeda dengan penari-penari lainnya, yang mungkin tidak membutuhkan intrik-intrik mitos dalam penciptaannya. Hal ini juga terjadi pada ronggeng Dukuh Paruk, yang dalam hal ini adalah Srintil. Perawan yang masih sangat muda ini telah dibentuk sedemikian rupa sehingga ia menjadi seorang yang layak disebut ronggeng. Berikut kutipannya.

Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari yang sebenarnya;
uluk-uluk perkutut manggung
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon,
ora manis kaya putuku, Srintil.
Konon bukan hanya itu.
Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil.
(Ronggeng Dukuh Paruk : 11).

Konflik batin baru dimulai di sini. Diawali dari tokoh Rasus yang merasa tidak nyaman melihat prosesi ronggeng yang terjadi pada Srintil. Rasus yang merasa tidak rela ketika Srintil  menari di depan umum. Gejolak batinnya terus berkata bahwa ia tidak rela jika Srintil  menjadi milik umum. Berikut kutipannya.
Rasus yang sejak semula berdiri tak bergerak di tempatnya mendengar segala pergunjingan itu. Anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu merasa ada sesuatu yang terlangkahi di hatinya. Ia merasa Srintil  telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak bisa lagi bermain sepuasnya dengan Srintil  di bawah pohon nangka. Tetapi Rasus tak berkata apa pun. Dia tetap terpaku di tempatnya sampai pentas itu berakhir hampir tengah malam (Ronggeng Dukuh Paruk :11).

Penonton bersorak. Mereka bertepuk tangan dengan gembira. Tetapi aku diam terpaku. Jantungku berdebar. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan Kartareja terus menciumi Srintil  tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya (Ronggeng Dukuh Paruk : 11).

Dari sinilah konflik batin itu bermula. Sebuah perasaan yang nantinya berpengaruh pada pola pikir Srintil  dalam memaknai hidupnya sebagai Ronggeng. Sisi menarik dari pemikiran Rasus yang secara perlahan membentuk pemikiran pada Srintil  untuk mengejar keinginannya tentang sesuatu, sebuah kebebasan untuk mencintai selayaknya seorang perempuan pada umumnya. Srintil  dan Rasus memang menyimpan sebuah perasaan yang ketika itu mereka masih belum bisa memaknainya. Sebuah perasaan untuk “memiliki” dan  kepemilikan itu ternyata juga bertentangan dengan pola ronggeng yang biasa berkembang pada masyarakat bahwa ronggeng adalah milik umum. Namun, perasaan itulah yang hingga ke depannya mampu membentuk  Srintil  untuk berjuang mengejar dan memilih cintanya, serta ia akhirnya mampu mengubah  suatu budaya Bukak-klambu ¸meskipun tindakannya  ini terselubung namun tetap membawa sebuah konstruksi budaya ronggeng yang berkembang di masyarakat.



















III. PEMBAHASAN


3.1 Kajian Struktural
Novel Ronggeng Dukuh Paruk   karya Ahmad Tohari   mengangkat tema pencarian cinta sejati. Dalam kehidupan manusia, cinta memiliki sebuah arti yang penting, karena ada cinta yang layak untuk dipertahankan, ada cinta yang harus diperjuangkan, dan cinta harus tetap dipertahankan meskipun begitu banyak godaan yang menerjang. Jadi, tema dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk   adalah tentang pencarian cinta sejati.
Seberapun kaya dan menawannya  seseorang tetap membutuhkan cinta dan kebersamaan.  Konsep cinta yang dijadikan tema adalah konsep “memiliki” yang melahirkan  sebuah pemikiran bahwa untuk memiliki itu memang hanya menjadi hak bagi dua individu yang bersangkutan. Dengan berpatokan bahwa  tema umum yang diangkat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk   adalah tentang pencarian cinta sejati adalah gambaran perjuangan untuk “memiliki” sepenuhnya dari  seorang laki-laki dengan seorang perempuan maupun sebaliknya yaitu pencarian cinta sejati antara seorang perempuan terhadap laki-laki. 
 Inilah yang menjadi dasar bagi Rasus untuk memiliki Srintil  sepenuhnya, demikian halnya pada Srintil  yang berkehendak bahwa cintanya semata hanya untuk Rasu. Konsep cinta inilah yang mendobrak sebuah budaya tentang Ronggeng yang identik dengan anggapan bahwa ronggeng adalah milik umum, tanpa berhak memiliki ataupun mengejar cinta sejatinya. Hanya saja konsep cinta yang dikembangkan oleh pengarang dengan mengangkat tokoh Rasus dan Srintil  yang masih terlalu kecil sehingga belum begitu memahami perasaan tersebut. Berikut kutipannya.
Ternyata aku tak menolak ketika Srintil  membimbingku duduk di atas akar beringin. Tetapi baik Srintil  maupun aku lebih suka membungkam mulut. Mestilah ronggeng kecil itu merasa sedang menghadapi seorang anak laki-laki yang akan mengalami kekecewaan. Srintil  pasti tahu aku menyukainya. Jadi dia tahu pula bahwa malam bukak-klambu baginya menjadi sesuatu yang sangat kubenci. Hanya itu. Atau, apakah aku harus mengatakan secara jujur bahwa Srintil  lebih kuhormati daripada seorang kecintaan? Tidak. Aku tak mempunyai keberanian mengatakan hal itu kepadanya. Maka biarlah, Srintil  tetap pada pengertiannya tentang diriku secara tidak lengkap. Seekor serangga kecil akhirnya membuka jalan bagi permulaan percakapan kami. Nyamuk belirik hinggap di pipi Srintil. Perutnya menggantung penuh darah (Ronggeng Dukuh Paruk :76).

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Novel  Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil, Rasus, Ki Kertareja, Nyi Kertareja, Sakarya, Sulam, Dower, Warta, Darsun, dan lain-lain. Deretan nama-nama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk telah mampu memerankan perannya dengan baik. Hampir semua tokoh yang muncul  telah mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh.
Tokoh yang paling domina dalam novel ini adalah Srintil. Ia digambarkan sebagai  Dukuh Paruk yang telah lama kering kini menampakkan kehidupannya kembali ketika Srintil, bocah yang berusia sebelas tahun, menjadi ronggeng, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka, menganggap bahwa kehadiran Srintil  akan mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya. Sebagaimana layaknya seorang ronggeng, Srintil  harus melewati tahap-tahap untuk menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Srintil  harus dimandikan di depan cungkup makam Ki Secamenggala setelah ia diserahkan kepada Kertareja, dukun ronggeng di dukuh itu, Srintil  juga harus melewati tiga tahap bukak-klambu.
Proses Srintil  menjadi seorang ronggeng inilah yang sangat menarik untuk dikaji. Seorang perempuan yang masih sangat muda ternyata memiliki keinginan yang begitu kuat untuk mempertahankan dan mengejar cintanya. Bahkan, hingga ke tahap bukak-klambu seorang Srintil  yang masih sangat kecil sebenarnya untuk memaknai tentang cinta ataupun tentang konsep memiliki maupun memilih telah menunjukkan bahwa Srintil  telah mampu menunjukkan esksistensinya sebagai perempuan sejati sekaligus sebuah pendobrakan terhadap budaya ronggeng yang harus menjadikan keperawanan sebagai “tumbal” terakhir untuk menjadikannya sebagai seorang ronggeng yang professional dan diakui oleh masyarakat. 
Proses  perjalanan kisah yang dikaji dalam pembahasan struktural singkat dengan mengedepankan tokoh utama wanita sebagai peneretas konsep feminisme yang nantinya akan membawa pada kajian feminism yang lebih mendalam pada bagian setelah ini. Srintil  sebagai pintu pembuka pada kajian feminism pada nantinya akan menguak beberapa kisi-kisi yang mengangkatnya sebagai sosok yang mampu membuktikan sebuah eksistensinya sebagai seorang perempuan dan sekaligus menngkonstruksi berbagai budaya yang berkembang dalam tradisi ronggeng.

3.2 Kajian Feminisme
Sebagai sebuah karya imajiner,  novel menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Fiksi adalah karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni (Nurgiyantoro, 2007:2—3). Novel lazim menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan.
Keterkaitannya dengan sastra yang merupakan bagian dari budaya, perempuan  dianggap sebagai berlian dengan faktor sosial budaya pembacanya dan dalam hal ini sikap baca menjadi faktor yang penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan  dalam karya itu terkonkretkan dan mendapat makna penuh dengan latar belakang keseluruhan sistem komunikasi sastra, yaitu penyair, teks, dan pembaca. Pembaca yang “membaca sebagai wanita” dipertimbangkan dalam kajian sastra feminis (Sugihastuti, 2000: 38—39).
Sejak manusia lahir, konstruksi sosial ikut pula dilekatkan bersamaan dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Seakan-akan perbedaan peran Gender memang sudah ada dan adalah kodrat manusia, ditambah dengan proses sosialisasi Gender yang sudah sangat lama yang didukung dengan adanya legitiasi agama dan budaya, maka semakin kuat interpretasi seseorang bahwa perbedaan peran, posisi, serta sifat perempuan dan laki-laki adalah adalah kodrat. Padahal baik peran, posisi dan sifat ini adalah bentukan sosial dan budaya yang disebut sebagai gender . Konsep gender , menurut Fakih (2001:8) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Adapun pengertian Gender menurut Demartoto (2005:8) adalah pembagian peran dan tanggung jawab baik perempuan maupun laki-laki yang ditetapkan secara sosial dan kultural.
Widanti (2005:8) mengemukakan bahwa Gender adalah interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Gender sebagai  konstrkusi sosial membentuk identitas serta pola-pola perilaku dan kegiatan laki-laki dan perempuan.  Terkait hal ini,  perempuan sebagai bagian terpenting dalam konsep gender, sangat berhubungan dengan pola pikir, arah gerakan, dan perannya di masyarakat. Hal inilah yang akhirnya membentuk eksistensi seorang perempuan.
Perempuan yang mengagungkan sebuah keinginan untuk dianggap ada hingga ke pemikirannya bahwa ia akan mampu hidup mandiri dengan “keberadaannya” itu telah membuat sebuah perubahan pola pikir seorang perempuan dalam menentukan arah hidupnya.  Selain itu, pola pikir yang mengagungkan eksistensi ini perlahan akan membentuk sebuah kebebasan berpikir yang berpengaruh di lingkungan sosialnya. Sosok perempuan yang memiliki pola pikir demikian, ditambah lagi dengan keberanian untuk menentang, mendobrak dan melawan suatu system sebenarnya teleh membentuknya menjadi sosok yang mampu membuat peruabahan konstruksi di masyarakat.
Dua hal ini, eksistensi dan konstruksi, telah membentuk sosok Srintil  menjadi layak untuk dikaji dalam kaca mata feminisme. Secara lugas dan detail, dua konsep feminisme ini dibahas pada kajian berikut.   
3.2.1        Eksistensi Perempuan
Perempuan tidak terlepas dari kata keindahan. Demikian halnya ketika sosok perempuan ini membuat sesuatu menjadi lebih indah untuk “dinikmati” oleh orang lain.  Salah satu bentuk keindahan itu adalah ketika sosok perempuan menjadi bagian dari seni. Terkait novel Ronggeng Dukuh Paruk  ini, peran ronggeng yang diangkat dalam tokoh Srintil  telah menggambarkan begitu jelas bahwa perempuan khususnya seorang ronggeng adalah sosok yang dielu-elukan oleh masyarakat. Sebuah kata kunci pertama bahwa sosok perempuan memiliki eksisitensi dalam pandangan masyarakat. Selain itu, Srintil  juga mampu menunjukkan eksistensi diri dalam hal-hal yang lain.

3.2.2.1  Eksistensi Perempuan “Srintil” dalam pandangan masyarakat
umum

Perempuan dalam pandangan masyarakat tentu berbeda-beda. Seringkali seorang perempuan dipandang rendah karena adanya budaya patriarki, dipandang rendah karena pekerjaannya yang dianggap merusak moral masyarakat, akan tetapi tidak jarang pula yang dipandang terhormat dan disegani dalam masyarakat. Keberadaan perempuan inilah yang dijadikan sebuah eksistensinya dalam pandangan masyarakat.
Terkait hal ini, novel Ronggeng Dukuh Paruk begitu lugas membahasakan tentang masyarakat Dukuh Paruk yang  dikenal sangat mengagungkan seorang ronggeng. Dalam novel ini diceritakan bahwa  Warga Dukuh Paruk telah belasan tahun menunggu kedatangan seorang ronggeng untuk meramaikan pedukuhan itu.  Awalnya, kesenian ronggeng hampir gulung tikar, hanya orang-orang tertentu saja yang tetap teguh mempertahankannya sebagai rasa bangga dan cinta terhadap kesenian tradisional ini. Sebuah paradigma dimunculkan bahwa mereka yang masih bertahan dengan kondisi ini, adalah merekan yang memang tidak ada yang dapat dikerjakan selain itu.  Belasan  tahun sejak kematian ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan bahwa  tidak ada lagi suara calung, perangkat gamelan telah tertutup lapisan debu campur jelaga di para-para dapur keluarga Kartareja, tali ijuk yang merenteng tiap mata calung telah putus oleh gigitan tikus atau ngengat.  Pengarang memunculkan tokoh Srintil  sebagai “primadona” dalam perkumpulan ronggeng. Dukuh Paruk kembali bergembira dengan munculnya seorang gadis cilik yang telah dirasuki indang sejak lahir. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
“.....Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.” (Ronggeng Dukuh Paruk : 16).

Kemunculan tokoh Srintil  sebagai seorang ronggeng telah menunjukkan bahwa ia memiliki peran yang begitu penting dalam pedukuhan itu.  Sosok Srintil  yang tidak hanya menjadi pujaan kaum laki-laki, namun juga menjadi sosok yang dikagumi kaum perempuan. Seorang ronggeng yang begitu “disayangi” oleh kaum perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa ronggeng dalam pandangan masyarakat adalah sebuah budaya yang begitu dihormati, sehingga seorang perempaun yang menjadi ronggeng pasti akan disegani dan dikagumi oleh semua orang. Bentuk-bentuk kekaguman ini, baik sebagai bentuk kasih sayang ataupun sekedar nafsu, tampak pada contoh kutipan berikut.
“Aku tak ingin berjualan kepadamu. Silakan pakai. Aku setiap saat berdiri di pinggir arena bila kau sedang menari. Engkau pasti tidak tahu, bukan?”

Srintil  membalasnya dengan tawa yang manja. Dipilihnya sebuah kutang berwarna kuning menyolok, lalu diberikannya kepada Nyai Kartareja untuk dibawa. Bukan hanya penjual kutang itu yang memberikan dagangannya dengan cuma-cuma kepada Srintil. Masih banyak lagi. Seorang perempuan penjual buah memberikan mangga-mangga yang masak dengan pengantar, “untuk penyegar bagimu yang terlalu banyak melek di malam hari.” Tukang jamu cepat-cepat meramu dagangannya. “Supaya otot-ototmu tetap kenyal. Laki-laki memang kurang ajar. Dia membenci apa-apa yang kendur!”
(Ronggeng Dukuh Paruk : 16).

Eksistensi seorang ronggeng adalah eksistensi sebuah budaya leluhur. Seorang ronggeng dalam pandangan  masyarakat Dukuh paruk adalah sosok yang begitu dielu-elukan dan dikagumi terutama bagi kaum laki-laki, dan lebih bagus lagi seorang ronggeng juga dikagumi oleh kaum wanita. Hal ini telah membentuk Srintil sebagai seorang perempuan yang memiliki eksistensi tinggi dalam  pandangan masyarakat terkait perannya sebagai ronggeng.

3.2.2.2  Eksistensi Perempuan “Srintil” dalam bidang Ekonomi
              Ronggeng dalam pandangan masyarakat Dukuh Paruk adalah seorang perempuan muda nan cantik yang memiliki kekayaan melimpah. Konteksnya, kondisi di Dukuh Paruk adalah sebuah komunitas masyarakat miskin.Bahkan, diceritakan dalam novel tersebut bahwa untuk memiliki seekor  kerbau pun sangat langka did an kecil kemungkinan masyarakat tersebut mampu untuk membelinya. Hal ini semakin jelas terlihat ketika akan diadakan ritual proses untuk menjadi ronggeng, bukak-klambu. Sangat tampak bahwa tidak ada satupun penduduk di Dukuh Paruk yang mampu membayar tiga keeping emas untuk “membeli” virginitas seorang ronggeng. Berikut kutipannya.
“Itu benar. Srintil  memang ayu dan kenes. Tetapi siapa yang memiliki sebuah ringgit emas di Dukuh Paruk,”

“Oh, saya tak pernah bermimpi seorang laki-laki Dukuh Paruk akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Aku tidak berharap mereka mengikuti sayembara.”
(Ronggeng Dukuh Paruk : 66).

              Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa  Dukuh Paruk begitu miskinnya bahkan untuk memenangkan bukak-klambu ini pun tidak ada satupun yang mampu. Kondisi ini berbeda sekali dengan Srintil  terutama setelah menjadi ronggeng, ia bahkan menjadi satu-satunya anak yang paling kaya di Dukuh tersebut. Kekayaan Srintil ini jika dipandang dari segi ekonomi jelas menjadikannya lebih tinggi dan disegani di pedukuhan tersebut. Srintil  telah mampu menunjukkan bahwa ia mampu menjadi sosok perempuan yang memiliki sebuah “pengakuan” sebagai seorang yang kaya dan dihormati. Bahkan, kekayaannya ini pun telah menjadikannya mampu berkata dengan tenang untuk menjadikan Rasus sebagai suaminya. Sebuah eksistensi yang bahkan tidak “dimiliki” oleh tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Berikut kutipannya.
“Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kaukerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil  di tengah malam yang amat sepi.
              (Ronggeng Dukuh Paruk : 137).

              Pernyataan Srintil ini jelas menunjukkan bahwa ia dari segi ekonomi sangat mumpuni. Bahkan untuk memilih apa yang akan dilakukannya adalah sebuah hak yang tidak dimiliki oleh orang lain, termasuk kekayaannnya dalam bidang ekonomi.Ini jelas menunjukkan bahwa, Srintil  memiliki sebuah eksistensi yang begitu tinggi di bidang ekonomi jika dibandingkan dengan masyarakat di sekitarnya.
             
3.2.1.3  Eksistensi Perempuan “Srintil” dalam Menentukan Pilihan
              Cinta terhadap sesosok pria dalam pandangan Ronggeng adalah hal yang tabu. Cinta yang ada bagi seorang adalah cinta secara umum, cinta yang ia berikan selain sebuah perwujudan terhadap budaya ronggeng, juga cinta sebatas kulit yang akan berganti seiring pria-pria yang memang selalu berganti. Namun, ini tidak terjadi pada Srintil.
“Aku tak bergerak sedikit pun ketika Srintil  merangkulku, menciumiku. Nafasnya terdengar cepat. Kurasakan telapak tangannya berkeringat. Ketika menoleh ke samping kulihat wajah Srintil  tegang. Ah, sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil dengan keadaan seperti itu......pohon-pohon puring dan kamboja yang mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk menjadi pagar yang sangat rapat.”

“Srintil  melepaskan rangkulannya. Kemudian aku mengerti perbuatan itu dilakukannya agar ia dapat membuka pakaiannya dengan mudah.” (Ronggeng Dukuh Paruk , hlm. 66).

Tampak sekali bahwa dalam kisah ini, Srintil  adalah gambaran seorang perempuan yang begitu agresif. Namun, selanjutnya diceritakan bahwa Rasus justru yang sedikit “kurang agresif” menanggapi Srintil. Jika dilihat dari keseharian, sebenarnya Rasus sering melihat perempuan mandi telanjang di pancuran. Hal ini telah menunjukkan bahwa sesungguhnya, Rasus sudah mengetahui  perbedaan antara  tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Jadi, sangat wajar jika Rasus merasakan sesuatu yang ganjil, dan hati kecilnya sedikit banyak terjadi pergolakan. Lebih lanjut, bahkan Srintil  dengan tidak canggung menarik tangan Rasus. Wajahnya merona merah, matanya berkilat-kilat.  Hal ini menunjukkan bahwa Srintil  adalah gambaran sosok yang begitu percaya diri terutama dalam mengejar cintanya.
Jika dianalisis lebih mendalam, pada dasarnya konsep cinta yang dilakukan oleh Srintil  ini boleh  akan dianggap tabu terkait hal-hal yang kurang senonoh, namun kejadian ini mungkin dianggap biasa dalam pandangan masyarakat Dukuh paruk, yang memang tampak kurang begitu mengagungkan sebuah pernikahan. Akan tetapi, di sini yang menjadi beda adalah eksistensi yang ditunjukkan oleh Srinti terutama dalam hal mengejar dan memperjuangkan cintanya.

3.2.2        Konstruksi  Budaya
Sosok perempuan yang memiliki pola pikir seperti Srintil  adalah gambaran perempuan yang berani mendobrak sistem yang ada. Keberanian ini walaupun tidak ditunjukkan secara nyata, sebenarnya telah menunjukkan tentang upayanya untuk mengubah sebuah konstruksi budaya yang selama ini ada.  Keberaniannya tampak sekali dalam upayanya  untuk menentang, mendobrak dan melawan suatu system yang sebenarnya teleh membentuknya menjadi sosok yang mampu membuat peruabahan konstruksi di masyarakat. Analisis berikut adalah contoh-contoh konstruksi budaya yang dilakukan oleh Srintil  dalam kehidupannya melawan sebuah tataran tradisi, terutama dalam keterkaitannya dengan ronggeng.

3.2.2.2 Konstruksi Budaya Bukak-Klambu
Secara umum, masyarakat Dukuh Paruk adalah sebuah gambaran komunitas dengan kemelaratannya, keterbelakangannya serta sangat terlihat dalam  sumpah serapah cabul menjadi bagian yang sah. Lebih istimewa lagi, bahwa mereka menggangap Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Inilah kebodohan mereka, jika saja dapat berpikir bahwa Dukuh Paruk yang dikelilingi hamparan sawah berbatas kaki langit, namun tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekalipun. Budaya yang berkembang juga begitu aneh dalam pandangan masyarakat di luar pedukuhan ini. Salah satunya adalah budaya bukak-klambu sebagai prosesi ritual terkahir yang harus dilewati oleh seorang ronggeng. bukak-klambu adalah semacam sayembara untuk memenangkan sebuah viriginitas seorang calon ronggeng. Penjelasan ini mungkin terkesan begitu “menjijikkan” bagi sebagian kalangan pembaca novel ini, terutama yang kurang mengerti tentang budaya ronggeng.
Dalam novel diceritakan bahwa bukak-klambu dikumandangkan oleh Kartareja sebagai dukun ronggeng jauh-jauh hari sudah menentukan malam bukak-klambu tersebut. Kartareja memasang syarat sekeping uang ringgit emas. Lihat kutipaan berikut.
“......Dukun ronggeng itu rajin keluar Dukuh Paruk untuk menyebarkan berita. Hanya dalam beberapa hari telah tersiar kabar tentang malam bukak-klambu bagi ronggeng Srintil. Orang-orang segera tahu pula, Kartareja menentukan syarat sekeping uang ringgit emas bagi laki-laki yang ingin menjadi pemenang.” (Ronggeng Dukuh Paruk: 54)

Dari ilustrasi ini tampak sekali bahwa seakan Srintil  “dijual” dengan harga yang telah ditentukan oleh Kertareja. Kartareja merasa layak memasang harga sekeping uang ringgit emas untuk acara bukak-klambu karena di Dukuh Paruk belum pernah ada ronggeng secantik Srintil. Harga itu sudah dianggap terlalu pantas untuk seorang ronggeng secantik Srintil. Lebih istimewa, ternyata ini adalah hal yang biasa dan memang telah menjadi tradisi dalam masyarakat Dukuh Paruk yang juga diketahui oleh masyarakat di daerah lain, di sekitar pedukuhan ini.
Srintil  telah mengubah konstruksi yang ada dalam masyarakat tentang seorang calon ronggeng yang dalam gambaran awal adalah sosok perawan suci yang kesuciannya itu diberika ketika telah sampai masa bukak-klambu.
Srintil  dijadikan barang dagangan oleh suami-istri Kartareja. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Srintil  tertekan akan keadaannya. Mereka juga tidak mengetahui kalau sebenarnya kehormatannya telah diserahkan pada Rasus (Ronggeng Dukuh Paruk: 54)

Konstruksi  budaya yang digambarkan dalam novel ini terkait budaya bukak-klambu adalah keberaniannya untuk tidak menyerahkan “virginitas” kepada orang yang berhasil membelinya. Tentu, ini adalah sebuah hal yang sangat terlarang jika sampai diketahui oleh Kertareja maupun masyarakat sekitarnya. Bukak-klambu yang menggambarkan kemolekan dan kesucian seorang ronggeng telah jelas-jelas dikonstruksi oleh Srintil. Secara tidak langsung, Srintil  telah mendobrak sebuah system bahwa untuk menyerahkan kesucian akan sangat terhormat baginya ketika itu diserahkan kepada laki-laki yang dicintainya.
Selanjutnya, jika ditilik lebih lanjut terkait ekonomi, kecenderungan untuk memenangkan sayembara bukak-klambu seperti ini dengan memperlihatkan perilaku Dower maupun Sulam adalah gambaran tentang anak-anak orang yang berada, dan tentunya dikenal sebagai pemuda-pemuda yang kaya, jelas mereka adalah tipe lelaki yang senang main perempuan selain karena ingin mengejar kebanggaan bisa mewisuda seorang ronggeng. Hingga pertentangan antar keduanya pun terjadi, seperti pada kutipan berikut.
“Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja engkau membawa ringgit emas itu. Bukan rupiah perak, apalagi seekor kerbau seperti anak Pecikalan ini,” ujar Sulam sambil melirik ke arah Dower. Yang dilirik tersengat hatinya lalu membalas keras.” (Ronggeng Dukuh Paruk:  72)

Ekonomi tinggi memang bisa membuat orang mampu meraih apa pun yang diinginkannya. Seperti halnya Sulam, Dower pun sama perilakunya dengan Sulam. Dower berani membohongi orang tuanya sendiri untuk dapat mengikuti sayembara. Akan tetapi, Srintil  ternyata telah mendobrak budaya bukak-klambu dengan tidak menyerahkan keperawanannya kepada orang yang telah mampu membelinya, melainkan dengan Rasus, pemuda yang dicintainya.
 
3.2.2.2  Konstruksi Budaya Pengungkapan Cinta
Cinta dalam pandangan dua orang yang saling mengasihi  adalah sebuah gambaran tentang nafas kehidupan yang mengalir dalam syaraf antara keduanya. Cinta yang dimaksud adalah cinta antara seoarng lelaki dan perempuan. Dengan cinta itu pulalah mereka akan mampu memberikan kebahagiaan untuk orang yang dikasihinya. Namun, cinta dalam pandangan ini ternyata tidak dapat diberlakukan untuk seorang ronggeng. Dalam pandangan masyarakat, Cinta seorang ronggeng  untuk seorang laki-laki adalah hal yang tabu. Cinta yang diperbolehkan adalah cinta untuk umum, yang merupakan manifestasi dari cinta terhadap budaya ronggeng.
Akan tetapi ini tidak berlaku bagi ronggeng Srintil. Bahkan, ia telah dengan berani mengungkapkan perasaannya tersebut terhadap lelaki yang dicintainya. Meskipun, jika digambarkan dengan kondisi saat ini yang identik dengan istilah “nembak” tidak secara lugas diungkapkannya secara langsung, namun Srintil  telah membuktikannya dengan sikapnya yang begitu jelas terlihat. Sebuah Konstruksi telah didobraknya. Budaya yang berlaku adalah lelaki yang terkesan lebih “aktif” dibandingkan perempuan.
Aku tak bergerak sedikit pun ketika Srintil  merangkulku, menciumiku. Napasnya terdengar cepat. Kurasakan telapak tangannya berkeringat. Ketika menoleh ke samping kulihat wajah Srintil  tegang. Ah, sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil  dengan keadaan seperti itu. Meski aku tidak berpengalaman, tetapi dapat kuduga Srintil  sedang dicekam renjana birahi. Tanpa melepas lingkaran tangannya di pundakku, Srintil  menoleh sekeliling. Dia was-was ada orang lain di sekitar tempat itu. Sebenarnya Srintil  tak usah terlalu curiga. Pohon-pohon puring dan kemboja yang mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk menjadi pagar yang sangat rapat (Ronggeng Dukuh Paruk: 82)


Srintil  telah menunjukkan dengan jelas bahwa seorang perempuan pun dapat dengan leluasa menyampaikan perasaannya terhadap laki-laki. Dewasa ini, Lelaki seakan memiliki wewenang lebih untuk memilih dan dengan seenaknya mengungkapkan perasaannya tersebut terhadap para perempuan. Srintil  telah mendobrak ini, ia telah dengan jelas membuktikan bahwa perempuan pun dapat lebih “aktif” dibanding laki-laki. Bahkan, sosok laki-laki dalam novel ini tampak sekali sangat pasif, walaupun hanya sekedar untuk menolak. Berikut kutipannya.
Masih merangkulku kuat-kuat Srintil  mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil  hangat dan gemetar.
“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”
Sepatahpun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganku terasa tersekat. Karena gelap aku tak dapat melihat dengan jelas. Namun aku merasakan Srintil  melepaskan rangkulan, kemudian sibuk melepaskan pakaian.
Tidak beda dengan pengalaman tadi siang di pekuburan Dukuh Paruk. Hanya ini segalanya berlaku dalam gelap. Aku tidak dapat melihat sosok tubuh Srintil  dengan jelas, meski aku yakin saat itu dia sudah telanjang bulat.
Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai yang berlaku pada pribadi-pribadi. Orang berpikir lebih primitif dalam suasana tanpa cahaya. Dan sebuah perilaku primitif memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun tangan mengguruiku dan Srintil. Boleh jadi Srintil  merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah, karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh
            (Ronggeng Dukuh Paruk, 54).

Selanjutnya, jika dikaji lebih lanjut terkait budaya dengan seting lokasi adalah budaya Jawa, Ada sebagian anggapan terutama dari kaum laki-laki pada budaya Jawa ada bahwa tugas utama perempuan yaitu berperan sebagai pemuas nafsu seksual sehingga merekaa sering bermain perempuan, yang terkenal dengan istilah madon. Laki-laki pada umumnya memang selalu tertarik kepada perempuan cantik seperti Srintil, bahkan di antara mereka kadang ada yang tidak peduli meskipun sudah beristri.  Perilaku madon juga dilakukan oleh kalangan atas. Namun, ini tidak sama sekali menjadikan seorang Srintil  memilih orang-orang seperti itu untuk “mewisuda” dirinya. Justru ia lebih memilih Rasus yang jelas tidak memiliki kekayaan seperti halnya Dower dan Sulam. Srintil  telah membuktikan bahwa cintanya pada Rasus telah mampu mengubah konstruksi budaya bukak-klambu yang begitu menganggungkan virginitas seorang calon ronggeng mampu ia kalahkan dengan cintanya terhadap Rasus sebagai pilihan hatinya.
BAB IV
SIMPULAN


Novel Ronggeng Dukuh Paruk  ini  mengisahkan tentang sosok Srintil  yang membawakan perannya sebagai seorang ronggeng. Tema yang diangkat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah tentang pencarian cinta sejati karena seberapapun terkenal atau tenarnya seseorang tetap membutuhkan cinta dan kebersamaan.
Bagian yang paling sering terkait adalah tentang budaya ronggeng. Sebagai bagian dari seni, ronggeng dibahas dalam tataran musik atau tari saja, namun juga lebih mendalam terkait peran Srintil  sebagai tokoh vital  yang berada di dalamnya. Srintil  sebagai perempuan adalah kajian yang begitu menarik dalam pembahasan feminis. Kemenarikan ini adalah tentang upayanya dalam mengadirkan sebuah pencerahan terhadap hak-hak perempuan.
              Srintil  yang berperan begitu menawan telah menghidangkan sebuah eksistensi seorang perempuan dalam memilih cinta yang dikehendakinya, meskipun pada dasarnya ia sebagai ronggeng adalah “milik umum”. Sebuah Eksistensi telah dibuktika oleh seorang Srintil. Bentuk-bentuk eksistensi yang dapat dibuktikannya adalah Eksistensi Perempuan “Srintil” dalam pandangan masyarakat  umum, Eksistensi Perempuan “Srintil” dalam bidang Ekonomi, Eksistensi Perempuan “Srintil” dalam Menentukan Cinta.
Selain itu, dalam pengkajian ini juga dibuktikan bahwa  seorang  Srintil  mampu membawa sebuah perubahan baru dalam tradisi ronggeng. Konstruksi budaya telah diubahnya secara perlahan meskipun terselubung. Konstruksi ini meliputi pembuktiannya bahwa perempuan mampu mengungkapkan perasaannya sebagi upaya perjuangan cintanya terhadap laki-laki, serta pendobrakannya terhadap tradisi bukak-klambu  sebagai sebuah ritual untuk menjadi seorang ronggeng, telah diubahnya menjadi konstruksi  baru bahwa sosok ronggeng juga boleh memilih siapa yang ia kehendaki.

\

DAFTAR PUSTAKA



Anshori, Dadang (Ed). 1997. Membincangkan Feminisme (Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Perempuan). Bandung:Pustaka Hidayah.

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang :Angkasa Raya.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kajian Sastra Feminis, Sebuah Pengantar. Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Fakih, Mansour. 2000. Analisis Gender  dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.

Imron, Ali.1995. Dimensi Sosial-Keagamaan Dalam Keluarga Permana:Analisis Semiotik. Yogyakarta :Universitas Gadjah Mada.

Imron, Ali. 2003. "Metode Pengkajian Sastra:Teori dan Aplikasinya". Penelitian  Pada Diklat Pengkajian Sastra dan Pengajarannya:Perspektif KBK. Surakarta:Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mukmin, Suhardi. 2005. Transformasi Akhlak dalam Sastra: Kajian Semiotik Robohnya   Suaru Kami. Inderalaya:Universitas Sriwijaya.
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian.  Jakarta:  Ghalia Indonesia

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Poerwandari, Kristi. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Bandung:Alumni.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Saraswati, Ekarini. Sosiologi Sastra, Sebuah Pemahaman Awal. Malang:UMM Press.

Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan. Jakarta:Balai Pustaka.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Jakarta :Angkasa Raya.
Soemardjo, J. dan Saini, K.M. 1986. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia
Sugihastuti. 2002. Perempuan di Mata Perempuan:Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty. Bandung :Nuansa.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif:Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta :UNS Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa Raya.
Tohari, Ahmad. 2007. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.











Riwayat Hidup Pengarang



Ahmad Tohari   dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari   tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.   
Ahmad Tohari   merupakan pengarang karya sastra yang produktif. Ia juga termasuk pengarang yang selalu memperhatikan bahasa sebagai bentuk perkembangan karya sastra sebagai karya seni. Selain itu, Ahmad Tohari   merupakan pengarang yang namanya mencuatkan karyanya Ronggeng Dukuh  Paruk, ia sastrawan Indonesia denga karya-karya khas, berbobot dan litener terbukti dengan beberapa penghargaan yang diperolehnya. Salah satu kekuatan lebih Ahmad Tohari   yang sulit ditemukan pada sastrawan lain adalah kepiawaiannya melukiskan alam pedesaan yang eksotis. Ditangannya penorama kehidupan pedesaan menjadi hidup dan menawan.
Melalui Ronggeng Dukuh Paruk, ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastraIndonesia . Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari   adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).
Karya-karya Ahmad Tohari   telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang disiapkan penerbitannya.
Terlepas dari itu, harus diakui Ahmad Tohari   adalah pengarang karya fiksi yang tidak pernah menulis dari sesuatu yang hampa. Sebagai seorang pengarang, ia menjadi pengamat sosial yang menyoroti kehidupan rakyat kecil atau kaum pinggiran menjadi sentral dalam karya-karyanya. Dari segi ekspresinya Ahmad Tohari   mengesankan adanya orisinalitas ekspresi yang khas. Kaya pemanfaatan potensi bahasa dan gaya bahasa sehingga stilistikanya menarik untuk dikaji. Salah satu daya tarik karya Ahmad Tohari   adalah kepeduliannya kepada masalah- masalah subkulter atau budaya daerah dengan kearifan lokalnya, sisi kemanusiaan dan pembelajaranya kepada wong cilik. Ahmad Tohari   memang akrab dengan tema-tema sosial yang mengangkat cerita dan derita kehidupan rakyat kecil. Ia mampu berkisah dengan arang desa dan latar desa dengan menarik bahkan tak jarang sangat menarik. Ahmad Tohari   berhasil mengungkapkan berbagai persoalan kemusiaan seperti kejujuran, kemunafikan, keiklasan, kesewenang-wenangan, ketertindasan, keterpaksaan cinta kasih.




























SINOPSIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
karya Ahmad Tohari


Srintil  adalah gadis  Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin . Dukuh Paruk yang telah lama kering kini menampakkan kehidupannya kembali ketika Srintil, bocah yang berusia sebelas tahun, menjadi ronggeng, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka, menganggap bahwa kehadiran Srintil  akan mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya.
Warga Dukuh Paruk  memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan sebayanya (Rasus , Warta, Darsun). Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil  kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil  menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.
Srintil  pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagaimana layaknya seorang ronggeng, Srintil  harus melewati tahap-tahap untuk menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Srintil  harus dimandikan di depan cungkup makam Ki Secamenggala setelah ia diserahkan kepada Kertareja, dukun ronggeng di dukuh itu, Srintil  juga harus melewati tiga tahap bukak-klambu. Dia tidak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran kalau tidak. Sebagai seorang ronggeng, Srintil  harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak-klambu , yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.   Meskipun Srintil  sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Sayembara bukak-klambu tersebut terdengar sampai kemana-mana, banyak laki-laki yang berusaha mengikutinya dengan segala cara. Srintil  sengaja menyerahkan keperawanannya kepada Rasus pada malam bukak-klambu tanpa sepengetahuan Nyai Kartareja. Kenyataan itu tidak dibayangkan Rasus sebelumnya. Rasus tidak menolak keinginan Srintil, selain karena ia begitu mencintainya, Rasus juga menganggap bahwa Srintil  adalah orang yang merupakan bayang-bayang ibunya yang entah kemana itu.
Srintil  telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil  resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil  sendirian di Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil  dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan, dan kelak dari tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil  sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil  dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil  yang masih pulas dalam tidurnya.

2 komentar:

  1. ukh ana izin y ukh masukkan almt blog ant d blogrool an ^^

    BalasHapus
  2. oke. tafadhal ukhti ^^
    ana juga baru ganti blog. yg lama gk bisa dipake.
    insyaallah ini dk ganti2 lgi. syukran

    BalasHapus